Sidang perkara Pengujian Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang dimohonkan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Kuntu, dan Kesatuan Masyarakat Adat Kesepuhan Cisitu digelar hari ini, Kamis (14/6) di Ruang Sidang Pleno, Lantai 2 Gedung MK. Sidang kali ini beragendakan mendengarkan keterangan saksi-saksi Pemohon, ahli Pemohon, dan ahli dari Pemerintah. Dalam keterangannya, ahli dari Pemerintah mengatakan pasal-pasal yang diajukan Pemohon untuk diuji justru bertujuan untuk melindungi Pemohon.
Ahli Pemerintah yang menyatakan hal demikian, yaitu Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Satya Arinanto. “Pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji oleh Pemohon tidak benar bila dikatakan bertentangan dengan UUD 1945. Justru pasal-pasal yang dimohonkan Pemohon untuk diuji bertujuan untuk melindungi dan menguatkan hak-hak konstitusional masyarakat hukum adat, termasuk Pemohon,” ujar Satya.
Dalam penjelasannya, Satya mengatakan pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji oleh Pemohon justru sudah sesuai dengan semangat perubahan kedua UUD 1945 pada Bab Pemerintahan Daerah, khususnya yang menyangkut masyarakat hukum adat. Ia menjabarkan pada perubahan kedua UUD 1945, khususnya pada Bab Pemerintahan Daerah tadinya hanya terdapat satu pasal tentang Pemerintahan Daerah, yaitu pada Pasal 18 UUD 1945. Setelah perubahan kedua, terdapat tiga pasal yang menyangkut Pemerintahan Daerah, yaitu Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B UUD 1945.
“Perubahan dalam bab ini (Bab Pemerintahan daerah, red) maupun pada bab lain merupakan satu pendekatan baru dalam mengelola negara. Di satu pihak ditegaskan bentuk negara NKRI, tapi di sisi lain juga ditampung kemajemukan bangsa sesuai Bhineka Tunggal Ika. Pencantuman tentang pemerintahan daerah dalam perubahan UUD 1945 ini dilatarbelakangi oleh kehendak untuk menampung semangat otonomi daerah dalam memperjuangkan kesejahteraan masyarakat daerah, termasuk masyarakat hukum adat,” papar Satya mengenai perubahan dalam UUD 1945 yang justru bertujuan melindungi masyarakat hukum adat, termasuk Pemohon.
Sedangkan ahli dari Pemohon, I NYoman Nurjaya, Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FHUB) menyampaikan keterangan terkait pembangunan hukum nasional dalam kaitannya dengan fakta kemajemukan hukum di Indonesia. Selain itu, Nurjaya juga menjelaskan mengenai pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat dalam kaitannya dengan akses penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam.
Memulai penjelasannya, Nurjaya mengatakan UUD 1945 secara eksplisit telah memberikan pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat, beserta hak-hak tradisionalnya yang diuraikan dalam Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 mengenai identitas dan hak masyarakat tradisional yang harus dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
Berdasar hal itulah kemudian pembangunan nasional harus diarahkan sesuai ideologi konstitusi negara yang bertujuan mensejahterakan rakyat, melindungi segenap bangsa, dan seluruh tumpah daerah Indonesia. Selain itu, pembangunan nasional juga harus berwawasan lingkungan, eco development, dan sustainable national development. Sayangnya, pembangunan nasional Indonesia sampai saat ini diarahkan untuk mencapai economic growth development. Artinya, pembangunan nasional diorientasikan untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi dan orientasinya eksploitasi.
Politik pembangunan nasional yang seperti itu kemudian menimbulkan pembangunan hukum yang mengabaikan, memarjinalisasi, dan menggusur keberadaan masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya. Konkritnya, pasal-pasal yang dimohonkan Pemohon untuk diuji materil telah membuat hutan adat tidak diakui sebagai satu entitas hukum yang sama dan setara atau sejajar status hukumnya dengan hutan negara dan hutan hak.
“Kami sebenarnya sejak tahun 1999 bersama-sama dengan teman-teman LSM yang bergerak di bidang lingkungan hidup seperti Yayasan Telapak, Elsam, Walhi, FKKM, dan lain-lain juga memperjuangkan untuk memasukan ketika mengawal pembahasan rancangan undang-undang yang sekarang menjadi Undang-Undang Kehutanan. Kami berusaha untuk memasukan satu entitas hukum dalam pasal yang berkaitan dengan status hutan, hutan berdasarkan statusnya, jadi tidak hanya hutan negara dan hutan hak tapi juga ditambah dengan hutan komunal adat,” jelas Nurjaya panjang lebar. (Yusti Nurul Agustin/mh)