Jakarta, RDP - Beberapa waktu yang lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa aturan buruh kontrak atau outsourcing bertentangan dengan UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Untuk itu, dalam pelaksanaannya nanti di lapangan dibutuhkan pengawasan ketat agar tidak terjadi penyimpangan.
Demikian disampaikan oleh anggota komisi IX DPR-RI, Rieke Diah Pitaloka kepada RDPnews.com beberapa saat yang lalu (Sabtu 21/1)
“Persoalan yang paling dasar dari UU Ketenagakerjaan sendiri adalah mandulnya pengawasan. Dari segi kuantitatif maupun kualitatif tenaga pengawas jelas kurang,” ujarnya.
Politisi PDI Perjuangan ini menambahkan, perbandingan ideal tenaga pengawas 1,5:1 satu orang untuk 5 perusahaan per 1 bulan. Ia pun mencontohkan di Kepulauan Riau dari sekitar 3000 perusahaan tenaga pengawas hanya ada 4 orang.
“Sekarang ditambah tidak lebih dari 10 orang itupun kabarnya harus magang dulu. Padahal tugas tenaga pengawas mengawasi seluruh aspek dalam hubungan industrial, yang dasarnya adalah UUK,” paparnya.
Perempuan lulusan Filsafat Universitas Indonesia mengatakan yang perlu diwaspadai adalah justru putusan MK ini “diplintir” oleh pihak-pihak yang menginginkan “menggergaji hak-hak buruh” yang dilindungi oleh Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 termasuk dari pihak Kemenakertrans sendiri, terutama dirjen PHI yang acapkali sering bersuara sebagai corong kapitalis.
Putusan MK kata Rieke dianggap sebagai pintu masuk untuk merevisi Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003. Revisi yang diajukan pemerintah tersebut berindikasi kuat jadi jalan untuk pemberangusan hak-hak buruh dan pekerja, seperti penghilangan atau pemotongan hak pesangon, cuti panjang, bahkan berimplikasi pada hak THR yang selanjutnya tidak bersifat wajib diberikan oleh pemberi kerja pada pekerja.
“THR dalam paparan Dirjen PHI pada rapat dengan Baleg DPR RI pada pengajuan prolegnas prioritas 2012 sifatnya jadi sekedar “sukarela” pengusaha,”kata Rieke.
Lebih jauh Rieke menambahkan MK menetapkan dari hasil revisi pasal-pasal tersebut bahwa pekerja Out Sourcing harus dihitung masa kerjanya sejak si pekerja bekerja walaupun agennya gonta ganti. Bahwa dalam perjanjian tersebut harus dicantumkan siapa yang bertanggungjawab bila terjadi PHK terhadap pekerja Out Sourcing.
Bila tidak ada yang bertanggung jawab maka perjanjian tersebut tidak berkekuatan hukum sehingga pekerja Out Sourcing bisa menuntut sebagai pekerja user.
“Bahwa hak-hak pekerja Out Sourcing tidak boleh didiskriminasi dari pekerja user. Walaupun ada pasal 6 UUK yang melanggar adanya diskriminasi tetapi di lapangan banyak dan sering terjadi. Akibat putusan MK tersebut maka seluruh PKWT pekerja Out Sourcing harus diamandemen dan dibuat sesuai putusan MK yang menjadi perhatian adalah peran pemerintah agar mengawal putusan MK ini. Pemerintah harus membuat kepmen atau permen yang sesuai dengan putusan MK ini,”terangnya
“Putusan-putusan MK tersebut memiliki kekuatan hukum tetap dan bisa bahkan harus dipatuhi dan dijalankan terutama oleh pemerintah dan siapa pun pihak dalam Hubungan Industrial. Secara otomatis putusan MK tersebut menjadi bagian dari UU 13 Tahun 2003,” demikian kata Rieke.