Jakarta - Komisi Nasional Perempuan mengatakan, Mahkamah Konstitusi (MK) harus segera menyampaikan pandangan dan posisi hukum syariah dalam peraturan perundang-undangan nasional, seiring wacana Tasikmalaya yang akan menerapkannya hukum syariah.
"Menanggapi pertanyaan terkait debat rencana Perda Tasikmalaya, Komnas Perempuan berpendapat, Mahkamah Konstitusi harus segera dan tegas memberi informasi kepada publik tentang makna konstitusi dan posisinya di dalam peraturan perundang-undangan nasional," kata Wakil Ketua Komnas Perempuan, Desti Murdijana, dalam pesan singkatnya di Jakarta, Senin (11/6).
Menurutnya, hal itu harus dilakukan MK demi bemberikan jaminan konstitusi agar terbebas dari diskriminasi dan memberikan rasa aman.
Sebelumnya, rencana walikota Tasikmalaya itu, merupakan upaya makar dan subversif terhadap konstitusi menurut Anggota Komisi III DPR RI, Eva K Sundari.
"Rencana walikota ini bukan saja menunjukkan sikap makar dan subversif terhadap konstitusi, tetapi juga pelanggaran UU Otda yang menegaskan, bahwa masalah hukum, keamanan, dan agama bukan wewenang daerah," cetusnya.
Rencana implementasi hukum syariah tersebut merupakan bentuk miskinnya pemahaman dan penghayatan konstitusi kalangan pejabat, baik pusat maupun daerah.
Rencana tersebut juga merupakan salah satu akal-akalan, pembuktiannya adalah, mewajibkan perempuan memakai kerudung dan pembentukan polisi syariah. Padahal, ini jelas-jelas anti konstitusi dan bentuk diskriminasi.
"Memprihatinkan, jika walikota tidak paham bahwa, soal berpakain dan beragama merupakan bagian dari HAM rakyat yang merupakan wewenang negara yang diatur melalui UU," nilainya.
Selain itu, Eva juga menilai, upaya Walikota Tasikmalaya itu sebagai upaya mempolitidasi isu agama demi kepentingan Pilkada. Pasalnya, awal Juni nanti, kota ini akan melakukan pemungutan suara. Manuver seperti itu harus dihentikan oleh pemerintah pusat, agar konsolidasi demokrasi daerah sesuai koridor, yakni mengacu pada konsensus 4 pilar.
"Tampaknya walikota sedang mempolitisasi isu agama untuk kepentingan pilkada karena awal Juli akan dilakukan pemungutan suara," ujarnya.
Selain itu, parpol-parpol juga harus serius mendidik kadernya, agar parpol dapat berfungsi sebagai agen transformasi masyarakat menuju konsensus berbangsa dan bernegara.
"Kita berharap, DPR Kota Tasikmalaya dan masyarakat perempuan melakukan perlawanan, bukan saja demi tertibnya pelaksanaan prinsip konstitusionalisme di daerah, tetapi juga merupakan penolakan pembuatan keputusan-keputusan strategis oleh walikota pada saat yang bersangkutan dalam status quo menjelang pilkada," urainya.