Sidang perdana terhadap perkara Pengujian Undang-Undang (PUU) No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum digelar awal minggu ini, Senin (11/5). Perkara bernomor 50/PUU-X/2012 ini dimohonkan oleh Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Serikat Petani Indonesia (SPI), Yayasan Bina Desa Sadajiwa (Bina Desa) dkk. Empat kuasa hukum Pemohon hadir memaparkan pokok-pokok permohonan Pemohon, yaitu Edi Harmon Gurning, Janses E Silaho, Benny Dikty Sinaga, Anton Febrianto, dan Priadi.
Kuasa hukum Pemohon, Edi hamonangan Gurning membuka penjelasannya dengan menyebutkan pasal-pasal yang diajukan untuk diuji. Pasal-pasal tersebut, yaitu Pasal 2 huruf g, Pasal 9 ayat (1), Pasal 10, Pasal 14, Pasal 21 ayat (1), Pasal 23 ayat (1), dan Pasal 40 dan Pasal 42. Kesemua pasal yang diajukan untuk diuji oleh Pemohon tersebut dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Edi mengatakan, pihaknya menganggap ada beberapa pasal dalam UU No. 2 tahun 2012 yang bertentangan dengan pasal-pasal dalam UUD 1945. Pasal-pasal yang diujikan Pemohon dianggap bertentangan dengan Pasal Pasal 33 ayat (3), Pasal 28, Pasal 28G ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28A, Pasal 28H ayat (1), Pasal 28H ayat (4), Pasal 33 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 23 ayat (1), dan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Kuasa hukum Pemohon, Janses kemudian menyampaikan pokok-pokok permohonan dari pihaknya. Dalam Pasal 9 ayat (1) disebutkan bahwa penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan umum harus memerhatikan keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat. Namun, lanjut Janses, definisi kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat dalam Pasal 9 ayat (1) UU Pengadaan Tanah itu tidak secara jelas dan tegas dijelaskan. “Yang menjadi permasalahan dan pertanyaan kami, Yang Mulia, bagaimanakah suatu norma bisa diseimbangkan apabila objeknya itu, pengertiannya semua tidak jelas, Yang Mulia? Artinya, di saat tiga kepentingan tadi, kepentingan masyarakat, kepentingan pembangunan, dan kepentingan perorangan itu saling tumpang-tindih, mana yang harus diprioritaskan,Yang Mulia?” ujar Janses di hadapan panel hakim yang diketuai Muhammad Alim serta Harjono dan Ahmad Fadlil Sumadi selaku anggota panel hakim.
Sedangkan di dalam Pasal 10 UU No. 2 Tahun 2012 dijelaskan bahwa tanah yang digunakan untuk kepentingan umum digunakan untuk pembangunan antara lain jalan tol dan pelabuhan. Namun, Pemohon mencatat bahwa jalan tol itu tidaklah relevan dijadikan untuk kepentingan umum karena tidak bisa diakses oleh semua pihak. “Yang Mulia, dari yang menjadi fakta di lapangan bahwa sekarang itu jalan tol sudah profit money oriented. Di Pasal 10 ayat (d) juga disebutkan ada definisi yang menjadi kepentingan umum itu adalah pelabuhan. Namun kami beranggapan bahwa pelabuhan bisa jadi menjadi kepentingan itu bisa diakses semua orang. Tapi, fakta yang kami dapatkan di lapangan, banyak pelabuhan-pelabuhan hanya dipakai untuk kepentingan bisnis, artinya tidak ada akses dari masyarakat untuk mendapatkan itu,” papar Janses.
Kuasa Hukum Pemohon lainnya, Benny Dikty Sinaga kemudian membacakan petitum permohonan Pemohon. Petitum Pemohon meminta pasal-pasal yang diajukan untuk diuji dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuataan hukum yang mengikat dengan segala akibat hukumnya. (Yusti Nurul Agustin/mh)