Sidang Pengujian Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas) yang dimohonkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah kembali digelar untuk keempat kalinya, Rabu (6/6). Sidang yang dipimpin langsung oleh Ketua Pleno Hakim yang juga Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Moh. Mahfud MD beragendakan mendengar keterangan ahli dari Pemohon. Hadir tiga orang ahli yang terkenal vokal dalam bidang ekonomi perminyakan dan politik, yaitu Pengamat Perminyakan Kurtubi, Pengamat Ekonomi Politik Ihsanudin Noorsy, dan Mantan Menko Perekonomian dan Industri Kwik Kian Gie. Ketiganya sepakat UU Migas telah merugikan negara sekaligus melanggar UUD 1945.
Kurtubi yang mendapat kesempatan pertama menyampaikan keterangannya menyampaikan alasan-alasan mengapa UU Migas merugikan negara dan melanggar UUD 1945. Setidaknya, Kurtubi memaparkan empat alasan utama terkait pendapatnya mengenai UU Migas yang merugikan negara. “Ada empat alasan utama mengapa UU Migas merugikan negara dan melanggar konstitusi, yaitu karena UU Migas telah menghilangkan kedaulatan negara atas Sumber Daya Migas yang ada di perut bumi Indonesia dengan yang berkontrak adalah pemerintah dengan perusahaan minyak, karena UU Migas telah merugikan negara secara finansial dimana migas bagian negara yang berasal dari Kontraktor tidak bisa dijual sendiri tetapi harus menunjuk pihak ketiga, karena UU Migas memecah struktur Perusahaan atau industri minyak nasional yang terintegrasi atas usaha hulu dan hilir yang terpecah (unbundling), dan karena sistem pengelolaan cost recovery diserahkan ke BP Migas yang didisain dengan tanpa adanya Dewan Komisaris dan itu merugikan negara,” papar Kurtubi panjang lebar.
Dalam uraiannnya, Kurtubi menjelaskan bahwa dalam ketentuan UU Migas dinyatakan bahwa yang menandatangani kontrak kerjasama dengan kontraktor/perusahaan minyak adalah pemerintah yang diwakili oleh BP Migas. Dengan begitu, pola hubungan antara pemerintah dengan kontraktor sama dengan pola yang digunakan zaman kolonial yang didasarkan atas Indische Mijnwet 1899. Saat itu Pemerintah Kolonial Hindia Belanda berkontrak dengan Perusahaan Tambang/Migas dan kedudukannya menjadi sejajar antara pemerintah dengan kontraktor. “Pemerintah menjadi bagian dari ‘para pihak’ yang berkontrak sehingga tidak bisa mengeksekusi UU atau regulasi tanpa persetujuan kontraktor meski UU atau regulasi tersebut untuk kepentingan negara,” tegas Kurtubi.
Kongkritnya, lanjut Kurtubi, klausul standar dalam Production Sharing Contract (PSC) yang dapat menjamin kedaulatan negara menjadi tidak berlaku atau tidak bisa diterapkan karena pemerintah ikut berkontrak. “Contohnya di dalam PSC disebutkan bahwa cost recovery yang dibayar ke investor berupa minyak atau gas. Hal ini telah menyebabkan pembayaran cost recovery menjadi sangat tinggi padahal semestinya pemerintah bisa membayar dengan uang sehingga cost recoivery bisa ditekan. Tapi hal ini tidak bisa dilakukan karena Pemerintah yang berkontrak,” ungkap Kurtubi lebih detil.
Konspirasi Asing
Sedangkan Ichsanudin Noorsy menekankan pada adanya dominasi perusahaan asing yang menghambat petumbuhan ekonomi nasional. Dominasi perusahan asing itu semakin mencengkeram dengan kontrak-kontrak karya yang meraka buat dengan pemerintah. “Kontrak-kontrak karya mereka bisa disetarakan dengan konstitusi karena itu kemudian sulit sekali pemerintah melakukan renegosiasi,” ujar Noorsy.
Noorsy juga sempat mengaitkannya dengan teori konspirasi bahwa UU Migas dirancang oleh US Departement Energy. Noorsy juga sempat menunjukkan dokumen yang menjadi bukti bahwa ini bahkan dibuktikan jika masyarakat
Kwik Kian Gie yang juga menjadi ahli Pemohon dalam persidangan kali ini mengatakan bahwa kebijakan dalam menentukan harga BBM oleh pemerintah telah mengakibatkan pelanggaran terhadap konstitusi. Salah satu contoh kebijakan yang dimaksud Kwik, yaitu kebijakan yang menyatakan harga minyak mentah di pasar internasional lebih tinggi dari harga minyak mentah yang terkandung dalam bensin premium sehingga pemerintah memberi subsidi kepada rakyatnya. Sayangnya, subsidi yang diartikan pemerintah adalah berbentuk uang tunai, padahal pemerintah tidak memilihi uang tunai dalam jumlah besar sehingga APBN jebol.
Kwik juga mengatakan telah terjadi indoktrinasi yang sangat sistemis oleh kekuatan korporasi asing yang bertujuan untuk mengeduk keuntungan sebesar-besarnya dari bumi Indonesia, terutama pada sektor Migas. “Secara ideologis, elit bangsa Indonesia telah berhasil di-brainwash sehingga mereka tidak bisa berpikir lain kecuali secara otomatis atau refleks, merasa sudah seharusnya bahwa komponen minyak mentah dalam BBM harus dinilai dengan harga yang tertentu oleh mekanisme pasar,” tukas Kwik sembari mengatakan harga yang terbentuk di pasar internasional melalui institusi New York American Tail Excange yang terkenal dengan nama Nine Makes tidak ada hubungannya dengan harga pokok BBM yang minyak mentahnya milik Indonesia sendiri. (Yusti Nurul Agustin/mh)