Sidang lanjutan terhadap pengujian UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan terhadap UUD 1945 kembali digelar oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (5/6). Perkara yang teregistrasi Kepaniteraan MK dengan Nomor 35/PUU-X/2012 ini dimohonkan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara dan dua kesatuan Masyarakat Hukum Adat, yakni Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Kuntu serta Masyarakat Adat Kesepuhan Cisitu.
Dalam sidang pleno tersebut, para pemohon mengajukan beberapa orang saksi dan ahli baik dari kesatuan masyarakat hukum adat maupun Komnas HAM. Syafruddin Bahar yang merupakan perwakilan dari Komnas HAM mengemukakan adanya sublimasi hak ulayat menjadi hak negara atas tanah. Padahal, lanjut Syafruddin, dalam Pasal 33 UUD 1945 mengamanatkan agar negara menggunakan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. “Akan tetapi, yang terjadi malah Pemerintah memberikan izin sebanyak-banyaknya bagi perusahaan besar. Komnas HAM justru banyak menerima pengaduan dari masyarakat ulayat. Jika masyarakat melawan, pihak swasta akan meminta perlindungan dari polisi, yang justru menyerang dan menembaki rakyat. Oleh karena itu, jika di tingkat atas tidak rapi, maka mengorbankan hak rakyat. Kesalahan UU harusnya diperbaiki saat amendemen. Oleh karena itu, saat ini perlunya ada koreksi, sekaranglah momennya,” papar Syafruddin selaku Ahli Pemohon.
Syafruddin menjelaskan bahwa Komnas HAM kerap kali menghadapi hal yang aneh jika mendapat pengaduan dari masyarakat hukum adat, yakni adanya UU yang melindungi hak masyarakat hukum adat, akan tetapi dalam pelaksanaannya justru menekan masyarakat hukum adat. Dan, lanjut Syafruddin, UU 41/2009 termasuk UU yang menekan masyarakat hukum adat tersebut. “Masyarakat yang ingin menuntut haknya justru menjadi pihak yang diserang. Belum lagi masyarakat yang berlatar pendidikan yang rendah selalu saja kalah dalam pengadilan,” urainya.
Sementara itu, Pemohon juga menghadirkan dua orang saksi dari kesatuan masyarakat adat, yakni Kesatuan Masyarakat Adat Bentian Kutai Timur dan Kesatuan Masyarakat Adat Colol Nusa Tenggara Timur. Lirin Colen Dingit yang merupakan perwakilan Masyarakat Adat Bentian, Kutai Timur menjelaskan izin yang diturunkan pemerintah bagi perusahaan-perusahaan besar merugikan Masyarakat Adat Kampung Bentian. “Konflik di Bentian Besar sudah lama terjadi. Kehadiran perusahaan besar ini telah menggusur 72 keluarga pemilik tanah. Kegiatan hutan taman industri telah membabat habis kegiatan transmigrasi. Tak hanya itu, hutan juga dibabat habis oleh perusahaan, sedangkan itu merupakan penghasilan dari masyarakat adat. Itu kebijakan yang tidak berpihak dari masyarakat adat,” jelasnya.
Dalam pokok permohonannya, para pemohon menguji normalitas Pasal 1 angka 6 sepanjang kata “negara”, Pasal 4 ayat (3) sepanjang frasa “sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional”, Pasal 5 ayat (1), ayat (2), ayat (3) sepanjang frasa “dan ayat (2); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya”, dan ayat (4) , serta Pasal 67 ayat (1) sepanjang frasa “sepanjang menurut kenyatannya masih ada dan diakui keberadaanya”, ayat (2), dan ayat (3) sepanjang frasa “dan ayat (2)”, UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Para pemohon telah menyebabkan Pemohon I dan Pemohon II kehilangan wilayah hutan adat-nya juga menimbulkan masalah lain sebagai masalah ikutannya yaitu kehilangan sumber penghasilan dan sumber penghidupan serta terancam pemidanaan baik Pemohon I dan Pemohon II sendiri maupun bagi anggota kesatuan masyarakat hukum adatnya. (Lulu Anjarsari/mh)