Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan Pemohon dalam uji konstitusionalitas Undang-Undang No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Dalam putusannya, MK menyatakan penjelasan pasal yang mengatur posisi wakil menteri bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
“Pokok permohonan beralasan menurut hukum untuk sebagian,” ucap Ketua Mahkamah Konstitusi Moh. Mahfud MD saat membacakan konklusi putusan perkara No. 79/PUU-IX/2011, Selasa (5/6) di ruang sidang Pleno MK. Permohonan ini diajukan oleh Gerakan Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (GN-PK) yang diwakili oleh Ketua GN-PK Adi Warman dan Sekretaris Jenderal TB. Imamudin.
Menurut Mahkamah, Penjelasan Pasal 10 yang menentukan bahwa wakil menteri adalah pejabat karir dan bukan merupakan anggota kabinet adalah tidak sinkron dengan ketentuan Pasal 9 ayat (1) UU Kementerian Negara. Sebab, menurut pasal tersebut susunan organisasi kementerian terdiri dari atas unsur: pemimpin yaitu Menteri; pembantu pemimpin yaitu sekretariat jenderal; pelaksana tugas pokok, yaitu direktorat jenderal; pengawas yaitu inspektorat jenderal; pendukung, yaitu badan atau pusat; dan pelaksana tugas pokok di daerah dan/atau perwakilan luar negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
“Apabila wakil menteri ditetapkan sebagai pejabat karir, sudah tidak ada posisinya dalam susunan organisasi kementerian, sehingga hal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil, yang berarti bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” tulis Mahkamah dalam pertimbangan hukumnya.
Mahkamah melanjutkan, menimbang bahwa timbulnya kekacauan implementasi atau masalah legalitas di dalam hukum kepegawaian dan birokrasi pemerintahan terjadi karena bersumber dari ketentuan Penjelasan Pasal 10 UU Kementerian Negara, maka menurut Mahkamah keberadaan Penjelasan tersebut justru menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil dalam pelaksanaan hukum dan telah membatasi atau membelenggu kewenangan eksklusif Presiden dalam hal mengangkat dan memberhentikan menteri/wakil menteri berdasarkan UUD 1945 sehingga Penjelasan tersebut harus dinyatakan inkonstitusional.
“Oleh karena keberadaan wakil menteri yang ada sekarang ini diangkat antara lain berdasar Pasal 10 dan Penjelasannya dalam Undang-Undang a quo, menurut Mahkamah posisi wakil menteri perlu segera disesuaikan kembali sebagai kewenangan eksklusif Presiden menurut putusan Mahkamah ini,” papar Mahkamah. “Oleh sebab itu, semua Keppres pengangkatan masing-masing wakil menteri perlu diperbarui agar menjadi produk yang sesuai dengan kewenangan eksklusif Presiden dan agar tidak lagi mengandung ketidakpastian hukum.”
Disamping itu, menurut Mahkamah, terdapat beberapa persoalan legalitas yang muncul dalam pengangkatan wakil menteri, antara lain: pertama, terjadi eksesifitas dalam pengangkatan wakil menteri, sehingga tampak tidak sejalan dengan dengan latar belakang dan filosofi pembentukan UU Kementerian Negara.
Kedua, saat mengangkat wakil menteri Presiden tidak menentukan beban kerja secara spesifik bagi setiap wakil menteri sehingga tak terhindarkan memberi kesan kuat sebagai langkah yang lebih politis daripada mengangkat pegawai negeri sipil (PNS) secara profesional dalam jabatan negeri. Ketiga, menurut Penjelasan Pasal 10 UU Kementerian Negara jabatan wakil menteri adalah jabatan karier dari PNS tetapi dalam pengangkatannya tidaklah jelas apakah jabatan tersebut merupakan jabatan struktural ataukah jabatan fungsional.
“Keempat, masih terkait dengan jabatan karier, jika seorang wakil menteri akan diangkat dalam jabatan karier dengan jabatan struktural (Eselon IA) maka pengangkatannya haruslah melalui seleksi, dan penilaian oleh Tim Penilai Akhir (TPA) yang diketuai oleh Wakil Presiden atas usulan masing-masing instansi yang bersangkutan,” ujar Mahkamah.
Kelima, menurut Mahkamah, nuansa politisasi dalam pengangkatan jabatan wakil menteri tampak juga dari terjadinya perubahan Peraturan Presiden No. 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara sampai dua kali menjelang (Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2011, tanggal 13 Oktober 2011) dan sesudah (Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2011, tanggal 18 Oktober 2011) pengangkatan wakil menteri bulan Oktober 2011 yang oleh sebagian masyarakat dipandang sebagai upaya menjustifikasi orang yang tidak memenuhi syarat untuk diangkat menjadi wakil menteri supaya memenuhi syarat tersebut.
Sedangkan keenam, komplikasi legalitas dalam pengangkatan wakil menteri seperti yang berlaku sekarang ini, muncul juga terkait dengan berakhirnya masa jabatan. Di mana, jika wakil menteri diangkat sebagai pejabat politik yang membantu menteri maka masa jabatannya berakhir bersama dengan periode jabatan Presiden yang mengangkatnya. Akan tetapi, jika wakil menteri diangkat sebagai pejabat birokrasi dalam jabatan karier maka jabatan itu melekat terus sampai dengan tiba masa pensiunnya atau berakhir masa tugasnya berdasarkan ketentuan yang berlaku untuk jabatan karier sehingga tidak serta merta berakhir bersama dengan jabatan Presiden yang mengangkatnya.
“Pertanyaannya, kapan berakhirnya masa jabatan wakil menteri berdasarkan fakta hukum yang ada sekarang ini? Apakah bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan menteri yang dibantunya dan dalam periode Presiden yang mengangkatnya ataukah dapat berakhir sebelum atau sesudah itu? Di sinilah letak komplikasi legalitas tersebut,” ungkap Mahkamah.
Dalam jumpa persnya, Adi Warman mengungkapkan bahwa pihaknya menerima dan menghormati putusan Mahkamah. Konsekuensinya, menurut dia, keberadaan para wakil menteri yang diangkat berdasarkan keppres yang dilandasi pada ketentuan yang dibatalkan oleh MK tersebut adalah inkonstitusional. “Sampai ada Keppres baru,” tegasnya. (Dodi/mh)