Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati menerima kedatangan para mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Atmajaya, Yogyakarta, Jumat (1/6) pagi. Kunjungan singkat ini membahas berbagai persoalan terkait MK, mulai dari sejarah terjadinya pengujian UU hingga proses pengujian UU di MK.
Mengawali pertemuan, Maria menjelaskan sejarah terjadinya judicial review yang bermula dari Kasus Marbury vs Madison (1803). Setelah itu dibahas mengenai latar belakang pembentukan MK di dunia, berdasarkan gagasan Hans Kelsen bahwa agar ketentuan konstitusi sebagai hukum tertinggi dapat dijamin pelaksanaannya, diperlukan organ suatu produk hukum bertentangan atau tidak dengan konstitusi.
Maria juga menerangkan gagasan munculnya konstitutional review di Indonesia, bermula dari gagasan Moh. Yamin dalam BPUPK bahwa Balai Agung (MA) perlu diberi wewenang untuk membanding UU. Namun Soepomo tidak setuju karena UUD yang disusun tidak menganut trias politica dan belum banyak sarjana hukum yang memiliki pengalaman itu. Tahun 70-an terdapat usulan Ikatan Sarjana Hukum agar MA diberi wewenang menguji UU. Ditambah lagi, Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 5 ayat (1), “MPR berwenang menguji undang-undang terhadap UUD 1945 dan Ketetapan MPR.”
Setelah reformasi 1998 terdapat tuntutan dilakukan perubahan UUD 1945. Pada 1999-2002 dilakukan amandemen UUD 1945. Salah satu perubahannya, perlu dibentuknya Mahkamah Konstitusi selain adanya Mahkamah Agung. Alhasil, tepatnya 13 Agustus 2003 dibentuklah Mahkamah Konstitusi (MK) yang memiliki sejumlah wewenang dan kewajiban.
“Wewenang MK adalah menguji UU terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutuskan pembubaran parpol, memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, dan MK wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan dan tindak pidana lainnya …” urai Maria kepada para mahasiswa.
Lebih lanjut Maria memaparkan perihal pengujian UU di MK. Bahwa permohonan pengujian UU meliputi pengujian formil dan pengujian materiil. Pengujian formil adalah pengujian UU yang berkenaan dengan proses pembentukan UU dan hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil. Sedangkan pengujian materiil adalah pengujian UU yang berkenaan dengan materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian UU yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Selanjutnya, Maria menjelaskan proses pengujian UU yang dimulai dengan pemeriksaan pendahuluan, antara lain memeriksa kelengkapan syarat-syarat permohonan dan kejelasan materi permohonan, memberi nasehat mengenai kelengkapan syarat-syarat permohonan serta perbaikan materi permohonan. Setelah sidang pemeriksaan pendahuluan, dilakukan sidang pembuktian pada hari yang ditentukan MK. Pembuktian dibebankan kepada Pemohon, dengan melihat alat bukti berupa surat atau tulisan, keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan para pihak, petunjuk dan alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan secara elektronik.
Proses berikutnya setelah sidang pembuktian, barulah dilaksanakan sidang pembacaan putusan. Isi putusan harus memuat sekurang-kurangnya: kepala putusan yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, identitas pemohon, ringkasan permohonan yang telah diperbaiki, pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan, pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan, amar putusan, pendapat berbeda dari hakim konstitusi maupun hari dan tanggal putusan, nama dan tanda tangan hakim konstitusi serta panitera. (Nano Tresna Arfana/mh)