Jurnas.com | PENGAMAT Pemilu mengatakan bahwa kesediaan KPU untuk menandatangani Pakta Integritas (PI) yang diajukan oleh Koalisi Mandiri untuk Pemilu Demokratis, memberi signal perubahan pada lembaga itu. Dari sebelumnya anti pelibatan masyarakat, kini mulai membuka peluang partisipasi publik.
Ada semangat transparansi melalui penandatanganan PI tersebut. Atas kepekaan ini, KPU boleh mendapat nilai biru.
"Setidaknya KPU bisa disebut lebih maju dalam merespons kehendak publik dibandingkan dengan Bawaslu yang justru menolak Pakta Integritas," kata Koordinator Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma), Said Salahuddin, kepada Jurnal Nasional melaui surat elektronik, Jumat (01/06).
Namun, kata dia, sebagai penyusun konsep awal PI bersama Koalisi Mandiri, Sigma tidak gembira atas hilangnya poin yang meminta agar KPU tidak bekerja sama dengan pihak asing, sebagaimana tercantum pada draf awal PI itu.
Kata dia, setidaknya ada lima alasan mengapa penyelenggara pemilu harus menyetop bantuan asing. "Pertama, semua UU pemilu tegas melarang adanya bantuan pihak asing kepada peserta pemilu. Salah satu alasannya terkait kemandirian," kata dia.
Menurutnya, atas pandangan reflektif dan analisis logis itulah semestinya penyelenggara pemilu juga tidak menerima bantuan dari pihak asing, betapapun UU tidak melarangnya. Karena, soal kesadaran memang tidak harus diatur oleh UU.
Kedua, kata dia, dalam Putusan MK No.108-109/2009, penafsir Konstitusi telah meminta kepada KPU dan Bawaslu supaya bantuan dari pihak asing dihindari agar tidak menimbulkan kecurigaan dan mengganggu netralitas penyelenggara pemilu.
"Peringatan itu disampaikan oleh Mahkamah tanpa harus diawali oleh adanya bukti-bukti bahwa bantuan asing merupakan manifestasi dari campur tangan pihak asing dalam penyelenggaraan pemilu," katanya.
Said mengatakan, hal ini didasarkan pada kasus bantuan IFES (International Foundation for Electoral Systems) pada Pilpres 2009 yang dinilai sebagai kecurangan pemilu oleh dua pasangan capres.
Sementara ketiga, kata dia, terbukanya peluang duplikasi anggaran dari pos APBN dan bantuan pihak asing yg boleh jadi berujung pada adanya penyimpangan anggaran.
Keempat, dana asing seringkali dimanfaatkan oleh anggota dan jajaran kesekretariatan penyelenggara pemilu untuk memperoleh honor-honor tambahan. Honor-honor inilah yang dikhawatirkan dapat mengikis kemandirian, netralitas, bahkan nasionalisme.
Dan kelima kata dia adalah adanya sikap manja anggota KPU, bawaslu, pegiat pemilu, hingga masyarakat, dari uang yang digelontorkan oleh bangsa asing tersebut. "Pada gilirannya, semangat kesukarelaan, solidaritas, bahkan idealisme dan spirit kemandirian yang sesungguhnya adalah modal bagi bangsa ini akan pudar perlahan dan tergantikan oleh pragmatisme," katanya.