Sidang Pengujian Undang-Undang (PUU) No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), dan UU No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum memasuki sidang ketiga dengan agenda mendengarkan keterangan saksi Pemohon, ahli Pemohon, dan opening statement dari Pemerintah, Kamis (31/5). Sidang yang dimohonkan oleh seorang hakim PTUN Semarang, Teguh Satya Bhakti itu menghadirkan Komisioner Komisi Yudisial (KY) yang juga Ketua Bidang Sumber Daya Manusia Penelitian dan Pengembangan KY, Jaja Ahmad Jayus sebagai saksi Pemohon. Mantan Menkumham Yusril Ihza Mahendra juga hadir memberikan keterangan sebagai ahli dari Pemohon.
Jaja menyampaikan dalam keterangannya bahwa berdasarkan hasil penelitian sementara dari KY tentang problematika hakim dalam memutus, muncul protes dari para hakim di daerah terkait kesejahteraan. “Gaji hakim sekarang ini masih didasari ketentuan sebagai PNS, tentunya ada gaji pokok, tunjangan hakim, dan tunjangan kinerja. Terhadap masalah tunjangan kinerja itu hakim di berbagai daerah itu memperoleh sebesar 70 persen dan itu pun dibayar tiga bulan sekali, tidak tiap bulan,” ujar Jaja di hadapan Ketua Pleno Maria Farida Indrati.
Jaja kemudian melanjutkan, ketika KY melakukan investigasi dalam kerangka seleksi hakim agung, para komisioner yang datang ke daerah-daerah, termasuk Jaja mendapati kondisi tempat tinggal para kandidat hakim agung memperihatinkan. “Kami datang ke tempat bekerjanya kandidat hakim-hakim agung itu dan juga datang ke tempat tinggal mereka. Kami mendapati ada yang tempat tinggalnya di rumah dinas, ada juga yang di asrama yang sudah disediakan namun fakta yang saya lihat langsung, rumah dinas yang ditempati para hakim tingkat banding tersebut jauh dari sewajarnya, mulai dari kondisi perumahan, perabotan, mebel, dan sebagainya,” papar Jaja.
Menurut Jaja, padahal di dalam UU sudah ditegaskan bahwa hakim sebagai pejabat negara harus mendapatkan hak-hak tentang itu. Bahkan, lanjut Jaja, ada calon hakim agung yang berstatus wakil ketua pengadilan tinggi yang kondisi kesejahteraannya bila dibandingkan dengan pejabat daerah sangat kontras. “Ada seorang hakim tinggi juga berangkat ke pengadilan, tempat dia bekerja, menggunakan sepeda motor kalau kita bandingkan dengan pejabat-pejabat di daerah setingkat Kabag atau Kabiro kebanyakan menggunakan roda empat,” lanjutnya lagi.
Kondisi serupa juga ditemukan Jaja tengah dialami para hakim di tingkat pertama. Hakim-hakim tingkat pertama diketahui oleh Jaja memperoleh fasilitas rumah dinas. Namun, kondisi rumah dinas yang diberikan kepada para hakim tingkat pertama di daerah-daerah yang dijumpai Jaja sangat memperihatinkan. “Akhirnya karena kondisinya tidak layak, mereka perbaiki sendiri sampai habis delapan juta dan hanya diganti oleh pengadilan sebesar 4 juta. Jumlah rumah dinas yang tersedia pun di setiap pengadilan tidak cukup untuk semua hakim yang bertugas di pengadilan di mana dia bekerja sehingga banyak yang mengontrak.Bahkan ada yang harus pindah kontrakan karena tetangga sebelah adalah pihak yang berperkara, maka uang kontrak satu tahun hilang begitu saja,” ungkap Jaja mengenai kondisi tempat tinggal para kandidat hakim agung.
Sementara itu Yusril sebagai ahli Pemohon menyampaikan hal-hal yang terkait dengan sistimatika pembentukan peraturan perundang-undangan dan kaitannya dengan tafsir yang diminta oleh Pemohon. Memulai keterangannya, Yusril mengatakan ketentuan di dalam Pasal 24 ayat (6) UU Peradilan Agama, pasal 25 ayat (6) UU Peradilan Tata Usaha Negara, dan Pasal 25 ayat (6) UU yang dimohonkan oleh Pemohon memang berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum secara materil.
“Apakah sebenarnya yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan, sedangkan UU No. 12 Tahun 2011 telah dengan jelas menyebutkan apa sajakah yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan itu, mulai dari UUD, TAP MPR, UU, Peraturan pemerintah Pengganti UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan seterusnya. Sehingga kalau dikatakan bahwa selanjutnya akan diatur dengan peraturan perundang-undangan, maka akan menimbulkan tanda tanya, apakah bentuk peraturan perundangan-undangan yang selanjutnya akan mengatur kaidah yang disebutkan di dalam ketiga pasal yang dimohonkan tadi,” jelas Yusril.
Sehingga kalau diadakan pengandaian-pengandaian, lanjut Yusril, kemungkinan yang dimaksud sebagai bentuk peraturan perundang-undangan adalah UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Pemerintah Pengganti UU, atau Peraturan Presiden. Sementara kalau dilihat dari sudut pembentukan peraturan perundangan-undangann secara formil, Yusril menegaskan bahwa pasal-pasal yang dimohonkan oleh Pemohon memang tidak mengandung kejelasan rumusan. “Yang lazim adalah bahwa jika satu norma dalam UU memerintahkan agar diatur dengan UU yang lain secara tegas disebutkan demikian atau kalau akan diatur dengan peraturan pemerintah, begitu juga dengan peraturan presiden dan bentuk-bentuk peraturan perundang-undangan lainnya. Karena itu, memang lebih baik kalau sekiranya dipertegaskan makna peraturan perundang-undangan ini sebagaimana yang dimohon oleh Pemohon, yaitu supaya rumusan diatur dengan peraturan perundang-undangan di dalam tiga pasal yang diuji ini dapat diberikan tafsiran yang tegas bahwa yang dimaksud adalah peraturan pemerintah,”
Terakhir, Yusril menegaskan kembali keberpihakannya kepada Pemohon dan hal itu dipilihnya demi kejelasan segi materil maupun untuk memenuhi syarat-syarat pembentukan peraturan perundang-undangan seperti yang diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. (Yusti Nurul Agustin/mh)