Hakim Konstitusi Muhammad Alim menjadi narasumber dalam Pembinaan Mental Ideologi dan Tradisi Kejuangan (Sarasehan Bintalid dan Trajuang) jajaran Tentara Nasional Indonesia pada Kamis (31/5) di Aula Gatot Subroto Markas Besar TNI, Cilangkap, Jakarta. Sarasehan ini mengangkat tema “Melalui Sarasehan Pembinaan Mental Ideologi dan Tradisi Kejuangan Tahun 2012, Kita Tingkatkan Kualitas Penghayatan dan Pengamalan Pancasila Sebagai Pilar Persatuan dan Kesatuan Bangsa”.
Dalam acara yang diikuti oleh sekitar 100 peserta tersebut, Alim menyampaikan materi berjudul “Peningkatan, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila sebagai Pilar Persatuan dan Kesatuan Bangsa.” Selain Alim, hadir pula sebagai narasumber Jenderal (Purn) Endriartono Sutarto.
Pada kesempatan itu, Alim menuturkan, jika ditilik dari perjalanan sejarah bangsa ini, maka dapat dilihat bahwa keberadaan Pancasila sebagai dasar negara sangatlah penting. Buktinya, meskipun konstitusi atau undang-undang dasar kita pernah berubah, dari Undang-Undang Dasar 1945, menjadi Konstitusi Republik Indonesia Serikat, kemudian Undang-Undang Dasar Sementara 1950, hingga kembali lagi ke UUD 1945, spirit Pancasila tetap dirumuskan dalam pembukaan ataupun mukadimah.
Hal itu didukung pula dengan kesepakatan yang telah diambil oleh para anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat yang pada saat awal-awal reformasi 1998 melakukan perubahan terhadap UUD 1945. Saat itu, ujar Alim, ada beberapa kesepakatan, diantaranya adalah tidak melakukan perubahan terhadap isi pembukaan UUD 1945 dan tetap mempertahankan bentuk negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Namun menurutnya, apa yang dicita-citakan dalam pembukaan UUD 1945 tersebut tentu saja belum sepenuhnya tercapai. Masih banyak yang perlu dilakukan oleh bangsa ini meskipun nilai-nilai yang dikandung dalam setiap sila Pancasila telah tertuang dalam pasal-pasal UUD 1945. “Karena Pancasila sebagai sumber hukum Indonesia,” tegasnya.
Menurut dia, seharusnya seluruh rakyat mendapatkan perlakuan yang sama dan setara dalam setiap sendi kehidupan. Meskipun, kalau bicara keadilan, maka kita tidak bicara tentang penyamarataan. “Hukum itu menyamaratakan, tapi keadilan tidak boleh menyamaratakan,” tegas Alim.
Alim mencontohkan, jika seorang hakim sedang menangani perkara yang melibatkan dua orang pencuri, namun yang satu karena kemiskinan dan yang satu lagi mencuri karena ingin menjadi kaya atau serakah, maka menurut Alim seharusnya pertimbangan hukumnya pun berbeda. Bahkan, dalam hukum seseorang yang terbukti melanggar hukum namun dalam keadaan terpaksa, maka orang tersebut dapat terbebas dari jeratan hukum. (Dodi/mh)