Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga peradilan yang memiliki komitmen menciptakan budaya sadar berkonstitusi bagi berbagai lapisan masyarakat sering kali menerima kunjungan dari berbagai pihak. Dan hari ini, Senin (28/5), MK lagi-lagi mendapat kehormatan dengan kunjungan dari rombongan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) se-Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Sekitar 80 orang guru tersebut mendapat kesempatan untuk bertatap muka sekaligus mendapat pengayaan materi dari Hakim Honstitusi Hamdan Zoelva.
Hamdan menyampaikan materi seputar konstitusi dan MK dengan didampingi seorang guru yang bertindak sebagai moderator, yaitu Marwono. Bertempat di Ruang Pertemuan Pers, lantai 4, Gedung MK, Hamdan memulai paparan materinya dengan menyatakan bahwa saat ini Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) bukan lagi menjadi lembaga tertinggi negara. “Saat ini MPR tidak bisa melakukan hal-hal semaunya seperti dulu karena semua harus mengikuti UUD 1945. Sekarang kedaulatan rakyat itu tidak hanya diberikan kepada MPR, tapi diberikan juga kepada lembaga lainnya, salah satunya, yaitu MK,” jelas Hamdan.
Hal itu sejalan dengan prinsip constitution is the supreme law of the land atau konstitusi adalah hukum tertinggi bagi suatu negara yang juga dianut oleh Indonesia. Dengan prinsip ini maka semua penyelenggaraan negara dikembalikan lagi ke konstitusi. Artinya, cara menyelenggarakan negara, hubungan antara negara dengan penyelenggara, dan hubungan antara negara dengan rakyat harus sesuai konstitusi.
Menjelaskan tentang konstitusi, Hamdan mengatakan konstitusi sering dikaitkan dengan bentuk teks tertulis. Namun, tidak semua negara memiliki konstitusi dalam bentuk teks tertulis seperti Inggris dan Israel. Hal itu menjadi wajar karena di samping ditemukan dalam bentuk teks tertulis, konstitusi juga ada dalam bentuk tidak tertulis.
“Konstitusi itu mengatur organ-organ negara dan kewenangan-kewenangannya. Konstitusi itu sangat penting bagi suatu negara karena menjadi kesepakatan rakyat tertinggi yang mengatur berbagai masalah negara seperti hubungan ekonomi antara negara dengan rakyatnya seperti yang tercantum dalam Pasal 33 UUD 1945. Di Indonesia ini konstitusi menjadi konstitusi politik, konstitusi ekonomi, konstitusi budaya, bahkan konstitusi pendidikan,” papar Hamdan panjang lebar yang dicatat dengan seksama oleh para guru.
Hamdan kemudian menyampaikan bahwa untuk menjaga segalanya berjalan sesuai knstitusi maka muncul kebutuhan terhadap pengujian undang-undang yang dirasa bertentangan dengan konstitusi. Kebutuhan akan judicial review itu muncul ketika terjadi kasus Marbury vs Madison pada tahun 1803 di Amerika Serikat (AS). Saat itu, di AS ketentuan judicial review tidak tercantum dalam UUD AS, namun Supreme Court (Mahkamah Agung) AS membuat sebuah putusan yang ditulis salah satu Hakim Agung AS kala itu, John Marshall dan didukung empat hakim agung lainnya. Putusan tersebut menyatakan bahwa pengadilan berwenang membatalkan undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi.
Di Austria, tepatnya pada tahun 1920, seorang filsuf dan ahli hukum terkemuka, Hans Kelsen menyatakan agar ketentuan konstitusi sebagai hukum tertinggi dapat dijamin pelaksanaannya maka diperlukan organisasi yang dapat menguji suatu produk hukum bertentangan atau tidak dengan konstitusi. “Gagasan Hans Kelsen itu kemudian menjadi dasar dibentuknya MK Austria yang sekaligus menjadi MK pertama di dunia. Sedangkan di Indonesia terhitung sebagai MK ke-78 di dunia,” tambah Hamdan.
Pengujian UU terhadap UUD 1945 seperti yang dimiliki MK Austria itu juga dimiliki oleh MKRI (MK Republik Indonesia). Meski tercatat MKRI memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban dalam mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, Hamdan lebih senang menyebutnya sebagai lima kewenangan. Kewenangan MKRI, yaitu menguji UU terhadap UUD 1945 (PUU), memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 (SKLN), memutuskan pembubaran Parpol, dan memutuskan perselisihan hasil pemilu (PHPU) dan satu kewajiban yang dimiliki, yaitu memberikan putusan terhadap pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran hukum berat yang dilakukan presiden atau wakil presiden (wapres).
“Kesemua kewenangan yang dimiliki MK itu bertujuan untuk mengawal konstitusi. Sedangkan disebut bersifat final dan terakhir agar tidak ada lagi upaya banding sampai peninjauan kembali. Itu untuk memberi kepastian hukum. Selain itu keputusan MK kan diambil oleh sembilan hakim konstitusi yang berasal dari tiga lembaga negara lain, yaitu tiga dari MA, tiga dari DPR, dan tiga lagi dari Presiden, sehingga tidak akan berpihak,” tandas Hamdan. (Yusti Nurul Agustin/mh)