Sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) kembali digelar oleh MK pada Selasa (29/5) di Ruang Sidang Pleno MK. Andi M. Asrun, M. Jodi Santoso, dan Nurul Anifah tercatat Kepaniteraan MK sebagai Pemohon dalam perkara Nomor 34/PUU-X/2012.
Dalam sidang mendengarkan keterangan Pemerintah, DPR serta saksi Pemohon, Pemerintah yang diwakili oleh Mualimin Abdi mengakui adanya perbedaan usia pensiun dalam wilayah kekuasaan kehakiman antara Mahkamah Agung (MA) dengan Mahkamah Konstitusi (MK). Usia pensiun Panitera MA diatur dalam Pasal 36A UU Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Pasal 36A UU Peradilan Umum menyatakan bahwa “Panitera, wakil panitera, panitera muda dan panitera pengganti pengadilan diberhentikan dengan hormat dengan alasan: … (d) telah berumur 60 tahun bagi panitera, wakil panitera, panitera muda dan panitera pengganti pengadilan negeri; (e) telah berumur 62 tahun bagi panitera, wakil panitera, panitera muda dan panitera pengganti pengadilan tinggi;…”.
“Saat ini telah ada Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2012 tentang Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi yang dalam penyusunannya telah mengundang beberapa stakeholder termasuk dari pihak MK. Memang ada perbedaan usia pensiun dalam wilayah kekuasaan kehakiman. Bagi peradilan negeri maupun pengadilan tinggi, telah diatur dalam Pasal 36A UU No.49/2009 tentang Peradilan Umum,” urai Mualimin di hadapan Majelis Hakim Konstitusi yang diketuai oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD.
Mualimin juga menjelaskan alasan tidak diaturnya batasan usia pensiun panitera MK dikarenakan sesuai dengan Pasal 8 UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi (MK), hal tersebut diatur lebih lanjut melalui Keputusan Presiden. “Pasal 8 UU Nomor 8 Tahun 2011 mendelegasikan aturan mengenai hal tersebut melalu peraturan presiden dan telah tertuang dalam Perpres Nomor 49 Tahun 2012 tentang Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal MK. Oleh karena itu, Pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada MK untuk mempertimbangkan perbedaan-perbedaan yang demikian yang diatur peraturan presiden ini menimbulkan diskriminasi atau memang demikian harusnya. Pemerintah menyerahkan kepada MK untuk menilai dan mempertimbangkannya,” ujar Mualimin.
Sementara itu, DPR yang diwakili oleh Nudirman Munir menilai Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum seperti yang tercantum dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK. Nudirman mempertanyakan kepada Para Pemohon hak konstitusionalnya yang terlanggar. “DPR harus dapat membuktikan terlebih dahulu apa benar Pemohon menganggap hak konstitusionalnya dirugikan sebagaimana dampak dari ketentuan yang diuji. Dalil yang dikemukakan Pemohon mengenai adanya kerugian tidak jelas dan kabur. Pemohon berprofesi sebagai advokat dan asisten advokat, mendalilkan pasal a quo menimbulkan ketidakpastian hukum, ketidakpastian hukum apa yang berpotensi merugikan pemohon?” terangnya.
Mengenai dalil Para Pemohon terhadap Pasal 7A UU MK yang dianggap mengandung ketidakjelasan dan menimbulkan hal-hal negatif, Nudirman menilai hal tersebut hanyalah asumsi Para Pemohon belaka dan bukan mengenai permasalahan konstitusionalitas norma. “Subtansi pasal a quo mengenai status kepaniteraan sebagai jabatan fungsional dan pelaksana teknis administratif di MK. Maka dalil Pemohon mengenai batasan usia tidak ada relevansinya dengan konstitusionalitas pasal a quo,” paparnya.
Para Pemohon juga menghadirkan ahli, di antaranya Dian Lubis Simatupang. Dalam keterangannya, Dian menjelaskan bahwa tidak adanya pengaturan usia pensiun bagi panitera MK menimbulkan ketidakpastian jabatan dan masa pelaksanaan tanggung jawab panitera MK. “Kepastian ini diperlukan dalam UU agar ada kepastian bagi PNS. Tidak adanya aturan menimbulkan ketidakpastian dalam menuntaskan kewajiban. Selain itu, jaminan pensiun yang pasti akan berdampak penyegaran tugas kepaniteraan MK. Perumusan usia pensiun mendasarkan seluruh peraturan UU bagi panitera di lingkungan pengadilan. Hal tersebut memberikan kepastian hukum dalam memperoleh jaminan pensiun. Dengan ketiadaan batas pensiun, permasalahan mungkin akan terus berkembang,” tandasnya.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon tanpa diwakili kuasa hukum mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 7A ayat (1) UU MK. Pasal 7A ayat (1) menyatakan “(1) Kepaniteraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 merupakan jabatan fungsional yang menjalankan tugas teknis administratif peradilan Mahkamah Konstitusi”. Adanya perbedaan jabatan Panitera serta Panitera Pengganti di peradilan umum, pengadilan agama, PTUN dengan Mahkamah Konstitusi menimbulkan ketidakpastian hukum yang dialami Pemohon. (Lulu Anjarsari/mh)