Apakah dengan adanya mekanisme pengambilan keputusan melalui voting dapat disimpulkan bahwa kita tak lagi mengamalkan Pancasila, terutama sila keempat, yang menyebutkan musyawarah mufakat? Dengan kata lain, apakah mengambil keputusan melalui suara terbanyak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 adalah bertentangan dengan Pancasila?
Apapun pendapat anda, Ketua Mahkamah Konstitusi Moh. Mahfud MD, tidak setuju dengan pandangan itu. Menurutnya, musyawarah mufakat merupakan sebuah dorongan moral bangsa. Namun, dalam pelaksanaannya, tidak mungkin kita harus selalu menaati mekanisme musyawarah mufakat secara kaku. “Ketentuan itu tidak bertentangan dengan Pancasila,” tegasnya saat menjadi pembicara dalam acara Temu Rembug dan Sarasehan Nasional yang digelar di Universitas Pancasila, Selasa (29/5).
Menurut dia, tentu saja, dalam setiap pengambilan keputusan mengutamakan musyawarah mufakat. Akan tetapi, jika musyawarah mufakat atau suara bulat tak kunjung didapat, maka mekanisme suara terbanyak bisa digunakan. “Itu yang realistis,” katanya.
Begitupula terhadap seluruh isi UUD 1945 pasca perubahan. Menurut Mahfud, uraian-uraian dalam konstitusi sebagaimana berlaku saat ini sudah sesuai dengan Pancasila. Dan, kalaupun ada persoalan yang muncul, hal itu lebih kepada masalah pelaksanaannya.
Menurutnya, Pancasila merupakan ideologi terbuka. Sehingga, pintu penafsiran terhadap sila-sila Pancasila sangat dimungkinkan. “Pancasila tidak kaku terhadap tafsir,” paparnya. “Idenya tetap. Prinsipnya tetap. Tapi tafsir bisa berubah-rubah sesuai perkembangan zaman.”
Tafsir tersebut kemudian dituangkan ke dalam konstitusi. “Sehingga, konstitusi inipun kalau ingin dirubah tidak ada yang mengharamkan,” ujar Mahfud.
Menyinggung tentang pengujian undang-undang di MK selama ini, Mahfud mengungkapkan, hanya sekitar 27% yang dikabulkan oleh MK. Artinya, masih ada saja undang-undang yang salah dalam menafsirkan Pancasila dan UUD 1945.
Menurut Mahfud, terdapat beberapa sebab kenapa sebuah undang-undang salah dalam menafsirkan Pancasila atau Konstitusi. Diantaranya ialah karena tidak dibuat secara profesional, ceroboh, atau adanya transaksi dalam proses pembuatan undang-undang, baik secara materi (baca: uang) maupun transaksi politik antar pembuat undang-undang. “Buktinya, sudah banyak yang diproses hukum,” katanya.
Dalam acara bertema “Kepemimpinan Nasional Berkarakter Pancasila” tersebut hadir sebagai Keynote Speaker Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Taufik Kiemas, sedangkan sebagai pembicara hadir pula Jusuf Kalla, Jimly Asshiddiqie, Radhar Panca Dahana, Revrisond Baswir, Hajriyanto Y. Tohari, Djoko Widodo, dan J. Kristiadi. (Dodi/mh)