Beranjak dari keinginan untuk mencari pengetahuan di bidang hukum tata negara sebagai salah satu dasar pembuatan karya ilmiah dalam bentuk Tesis, mahasiswa Magister Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) berkunjung Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (28/5). Mereka diterima langsung oleh Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati, di Lantai 8 Gedung MK, Jakarta.
Mengawali pertemuan tersebut, Maria Farida memulai menjelaskan terkait dengan sejarah, kewenangan dan kewajiban MK, serta bagaimana proses beracara di lembaga peradilan tata negara tersebut. Menurutnya, syarat menjadi hakim konstitusi telah diatur dalam Pasal 15 UU MK yang berbunyi, “Hakim konstitusi harus memenuhi syarat sebagai berikut:a. memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela; b. adil; dan c. negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan.”
Selanjutnya berkenaan dengan kewenangan dan kewajiban MK, Guru Besar FH UI ini menuturkan bahwa MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Sementara itu, lembaga ini juga mempunyai kewenangan memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar. MK juga berwenang memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu, dia juga menjelaskan, MK mempunyai satu kewajiban yakni wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Sementara itu, Maria juga melayani sejumlah pertanyaan dari Mahasiswa Magister Hukum tersebut, antara lain terkait dengan ada tidaknya upaya hukum di MK. Menurutnya, seandainya MK telah memutuskan sebuah undang-undang, dan undang-undang tersebut sudah dinyatakan telah bertentangan dengan UUD 1945, maka otomatis pasal itu tidak dapat digunakan lagi. “Masih ada di undang-undang itu, tetapi tidak dapat digunakan lagi,” jelas ahli hukum perundang-undangan ini.
Disamping itu, lanjut Maria, MK juga kadang-kadang dalam putusannya menyatakan pasal tersebut dianggap konstitusional. “Kalau dimaknai tersebut maka otomatis yang dinyatakan MK itu berlaku,” terangnya. Sehingga, menurutnya, apabila MK menyatakan pasal tersebut ditolak juga ada dampaknya, dan apabila pasal tersebut dikabulkan juga ada dampaknya.
Berkenaan dengan kesataraan gender (perempuan) yang ada di hakim konstitusi, Maria Farida mengatakan bahwa ada sebuah kenyataan bahwa saat itu mencari ahli hukum tata negara tidak banyak. Kemudian selang beberapa waktu ternyata terdapat banyak sebuah permasalahan hukum tata negara, sehingga sejak itu pemahaman terkait hal tersebut banyak diminati.
Pengawasan Hakim MK juga ditanyakan dalam kesempatan tersebut. Menurutnya, Hakim MK mengawasi diri sendiri, dan kalau dari segi keuangan, Badan Pengawasan Keuangan akan langsung mengetahui apabila ada kesalahan. “Dan pastinya dari pihak-pihak yang mengusulkan hakim-hakim tersebut,” ucapnya. “Tetapi hakim disini sampai sekarang tidak ada yang mengintervensi baik dari DPR, MA, maupun Presiden,” tambah Marida diujung penjelasannya. (Shohibul Umam/mh)