Mahasiswa dan Tim Pengajar Mata Kuliah Teori dan Hukum Peraturan Perundang-Undangan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK), Jumat (25/5). Kunjungan tersebut dimaksudkan sebagai “pengganti” jam perkuliahan di FHUI yang seharusnya diisi oleh salah satu hakim MK yang juga menjadi Guru Besar Ilmu Perundang-Undangan di UI, Maria Farida Indrati. Dalam kesempatan itu, Maria menyampaikan materi seputar peraturan perundang-undangan dalam sistim hukum di Indonesia dan juga hal-hal terkait kewenangan dan kewajiban MK.
Mengawali perjumpaan Maria meminta maaf karena tidak bisa hadir di kampus FHUI untuk mengisi mata kuliah teori dan hukum peraturan perundang-undangan karena kesibukannya sebagai hakim konstitusi. “Saya minta maaf karena tidak bisa selalu hadir dalam perkuliahan di kampus meski untuk hari-hari dan jam-jam tertentu masih bisa saya isi. Sebab dalam sehari saja sidang di MK sudah padat,” ujar Maria tak sungkan meminta maaf.
Usai menyampaikan intermezzo, Maria kemudian mulai memaparkan materi. Pertama-tama Maria menyampaikan bahwa pengujian undang-undang sudah menjadi perdebatan sejak awal kemerdekaan Indonesia. Dalam skala internasional, kasus Marbury vs Madison pada tahun 1803 di Amerika Serikat (AS) menjadi cikal bakal adanya judicial review. Saat itu di AS ketentuan judicial review tidak tercantum dalam UUD AS namun Supreme Court (Mahkamah Agung) AS membuat sebuah putusan yang ditulis salah satu Hakim Agung AS kala itu, John Marshall dan didukung empat hakim agung lainnya. Putusan tersebut menyatakan bahwa pengadilan berwenang membatalkan undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi.
Sejarah judicial review kemudian bergulir ke tahun 1920. Pada tahun itu, seorang filsuf dan ahli hukum terkemuka dari Austria, Hans Kelsen yang terinspirasi dengan kasus Marbury vs Madison menyatakan agar ketentuan konstitusi sebagai hukum tertinggi dapat dijamin pelaksanaannya maka diperlukan organisasi yang dapat menguji suatu produk hukum bertentangan atau tidak dengan konstitusi. “Gagasan Hans Kelsen itu kemudian menjadi dasar dibentuknya MK Austria yang sekaligus menjadi MK pertama di dunia. Sedangkan MK Indonesia merupakan MK ke-78,” tutur Maria.
Di Indonesia, sebenarnya gagasan untuk membuat lembaga seperti MK sudah muncul sejak awal kemerdekaan RI. Saat itu Moh. Yamin dalam rapat BPUPK mengusulkan dibentuk Dewan Agung (MA, red) yang kewenangannya dapat menguji UU. Namun, gagasan Yamin tersebut dianggap “tidak masuk akal” pada zamannya oleh Soepomo. Pasalnya, Indonesia dianggap belum memiliki banyak sarjana hukum yang memiliki pengalaman mengenai judicial review dan Indonesia sebagai negara baru dianggap belum membutuhkan judicial review.
Lebih lanjut Maria menyampaikan bahwa dalam konstitusi dimuat norma-norma umum yang tidak mengandung sanksi pidana apa pun. Sehingga, pengaturan lebih detil terhadap suatu norma harus diatur oleh undang-undang yang berada di bawah UUD 1945. “Namun seringkali UU yang dibentuk untuk mengatur lebih detik norma umum yang terdapat dalam UUD (termasuk UUD 1945, red) bertentangan dengan konstitusi itu sendiri sehingga diperlukanlah lembaga yang dapat menguji UU, yaitu MK,” jelas Maria.
Beralih ke materi kewenangan MKRI, Maria mengungkapkan bahwa MKRI memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban dalam mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Kewenangan MKRI, yaitu menguji UU terhadap UUD 1945 (PUU), memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 (SKLN), memutuskan pembubaran Parpol, dan memutuskan perselisihan hasil pemilu (PHPU) dan satu kewajiban yang dimiliki, yaitu memberikan putusan terhadap pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran hukum berat yang dilakukan presiden atau wakil presiden (wapres).
“Dari seluruh kewenangan dan kewajiban MK tersebut hanya ada satu kewenangan dan satu kewajiban saja yang belum pernah dilakukan MK. Yang belum pernah MK lakukan, yaitu sidang pembubaran parpol dan sidang pemberian putusan terhadap pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran hukum berat yang dilakukan presiden atau wapres,” ujar Maria.
Maria juga menjelaskan mengenai komposisi hakim MK yang berjumlah sembilan orang. Kesembilan hakim konstitusi itu berasal dari tiga orang yang dipilih MA, tiga orang dipilih DPR, dan tiga orang lainnya dipilih presiden. “Saya bersama Pak Achmad Sodiki dan Hamdan Zoelva dipilih oleh presiden. Lalu yang dipilih oleh MA itu yang paling baru Pak Anwar Usman, lalu ada Pak Muhammad Alim dan Pak Ahmad Fadlil Sumadi. Sedangkan yang dipilih oleh DPR, yaitu Pak Ketua Moh. Mahfud MD, Pak Akil Mochtar, dan Pak Harjono,” tukas Maria. (Yusti Nurul Agustin/mh)