Pengujian Undang-Undang No.29/2004 tentang Praktik Kedokteran yang mulanya dimohonkan oleh perkumpulan Asosiasi Tukang Gigi Mandiri (ASTAGIRI) dan perorangan, tetapi dalam sidang perbaikan, Jumat (25/5), yang dimohonkan dalam perkara nomor 40/PUU-X/201, melakukan perbaikan atas permohonannya menjadi perorangan yakni Hamdani Prayogo selaku tukang gigi di kawasan Kelapa Dua, Kebon Jeruk, Jakarta Barat.
Hal demikian terungkap saat kuasa hukum Pemohon yang salah satunya, A. Wirawan Adnan menyampaikan keterangannya kepada Majelis Hakim Konstitusi, di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi. Sidang ini dipimpin oleh Ahmad Fadlil Sumadi, didampingi oleh Akil Mochtar dan Anwar Usman, masing-masing sebagai anggota.
Pemohon dalam hal ini mengujikan Pasal 73 ayat (2) dan Pasal 78 UU No. 29/2004 tentang Praktik Kedokteran terhadap UUD 1945. Ketentuan Pasal 73 ayat (2) adalah, “Setiap orang dilarang menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik.”
Selanjutnya ketentuan Pasal 78 berbunyi, “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau cara-cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).”
Norma tersebut, menurut Pemohon, berimbas dengan Pemerintah mengeluarkan aturan yang melarang tukang gigi agar tidak melakukan pekerjaannya. “Pemohon kehilangan penghasilan Rp 2 – Rp 3 juta per bulan dengan adanya larangan pemerintah tersebut,” ujar Wirawan.
Disamping itu, Pemohon juga melakukan perubahan terhadap UUD 1945 selaku batu uji dalam permohonan perkara ini. Menurut Wirawan, batu uji yang digunakan dalam perbaikan ini lebih spesifik, yakni hanya mencantumkan Pasal 27 Ayat (2), Pasal 28D UUD 1945, yang berkaitan dengan kepastian hukum yang adil.
Dengan berbagai pertimbangan dan persoalan yang terjadi selama ini, Pemohon melalui kuasa hukumnya meminta kepada Majelis Hakim Konstitusi supaya pasal-pasal yang diujikan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan perumusannya bisa diartikan tidak melarang tukang gigi untuk melayani masyarakat. “Pokoknya tidak melarang tukang gigi,” tegas Wirawan.
Usai persidangan, M. Sholeh Amin selaku kuasa hukum Pemohon memberi keterangan kepada wartawan. Dalam keterangannya, dia mengatakan bahwa praktik yang tercantum dalam pasal tersebut pengertiannya sangat luas. “Sehingga menyebabkan tukang gigi dilarang dengan adanya pasal itu,” terangnya. “Bahkan ada surat edaran dari pengadilan bandung akan diancam dengan hukuman pidana.”
Lebih dari itu, pasal-pasal tersebut juga telah menyebabkan tukang gigi bermasalah ketika melakukan aktifitas pekerjaannya. “Jika dihadapkan dengan konstitusi, Pemohon tidak mendapatkan kehidupan yang layak dan kepastian hukum,” kata Sholeh Amin.
“Tukang gigi hanya membuat dan memasang gigi palsu, sehingga tidak berbenturan dengan profesi dokter. Kenapa kami yang dilarang,” keluh kuasa hukum itu usai persidangan. (Shohibul Umam/mh)