Sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas (UU Migas) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (24/5) di Ruang Sidang Pleno MK. Sidang perkara dengan Nomor 36/PUU-X/2012 yang diketuai oleh Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar ini dimohonkan oleh beberapa organisasi masyarakat dan perseorangan, di antaranya PP Muhammadiyah, Lajnah Siyasiyah Hizbut Indonesia, PP Persatuan Ummat Islam, PP Syarikat Islam Indonesia, PP Persaudaraan Muslimin Indonesia, Al Irsyad Al Islamiyah dan pemohon perseorangan lainnya.
Dalam sidang beragendakan mendengar keterangan Pemerintah dan DPR ini, Pemerintah yang diwakili oleh Evita Legowo mengungkapkan bahwa Para Pemohon tidak memenuhi kualifikasi Peraturan MK Nomor 06/PMK/2008 karena tidak ada kerugian konstitusional bagi Pemohon. “Pemohon mendalilkan bahwa UU Migas telah menimbulkan ketidakpastian hukum. Menurut Pemerintah, tidak ada hubungan sebab akibat dengan dalil yang diuraikan pemohon terhadap pasal yang dijadikan sebagai batu uji oleh Pemohon. Para Pemohon tidak memenuhi kualifikasi yang memenuhi legal standing. Untuk itulah, menurut Pemerintah, adalah tepat jika Majelis Hakim Konstitusi menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima,” jelas Evita di hadapan Majelis Hakim Konstitusi.
Menurut Evita, UU Migas dirancang dengan beberapa tujuan. Tujuan tersebut, papar Evita, di antaranya untuk menjamin terlaksana dan terkendalinya migas sebagai sumber daya alam yang bersifat strategis. “Selain itu, UU Migas juga bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara dan memberikan kontribusi yang sebesar-besarnya bagi perekonomian negara serta meningkatkan kesejahteraan rakyat,” paparnya.
Mengenai aturan kontrak dalam UU Migas, Evita menjelaskan ada dua macam kontrak dalam UU Migas, yakni kontrak jasa dan kontrak bagi hasil. Kontrak jasa, jelas Evita, kontraktorlah yang dibayar. Sementara kontrak bagi hasil, lanjut Evita, baik Pemerintah maupun kontraktor mendapatkan hasil. “Hitungan bagi hasil untuk minyak bumi, pemerintah mendapat 85% dan kontraktor mendapat 15%. Sementara, untuk gas bumi, Pemerintah mendapatkan 75%, dan kontraktor mendapat 25%,” terangnya.
Evita pun menjelaskan mengenai keberadaan BP Migas. ”BP Migas hanya berfungsi sebagai pengendali. Hal ini bertujuan agar negara tidak turun langsung dalam (menangani) kontrak. “Hal ini agar tidak ada kedudukan setara antara kontraktor dan negara karena hal ini masuk ke dalam keperdataan ,” ujarnya.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon mendalilkan Pasal 1 angka 19 dan 23, Pasal 3 huruf b, Pasal 4 ayat (3), Pasal 6 ayat (1), Pasal 9 ayat (1), Pasal 10 ayat (1), Pasal 11 ayat (2), Pasal 13 ayat (1), serta Pasal 44 ayat (1) UU Migas melanggar hak konstitusional Pemohon yang dijamin oleh Pasal 1 ayat (2), Pasal 11 ayat (2), Pasal 20A ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1), serta Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945. Menurut Pemohon, UU Migas dianggap telah merendahkan martabat negara dan melecehkan kedaulatan rakyat sebagaimana diamanahkan oleh Konstitusi. Sebab, telah mengakibatkan negara memiliki posisi yang sama dengan perusahaan asing dalam kontrak pengelolaan migas di Indonesia. (Lulu Anjarsari/mh)