Pancasila merupakan kristalisasi dari nilai-nilai budaya yang hidup di bangsa ini ratusan tahun yang lalu. Dengan kata lain, Pancasila merupakan tempat budaya hukum kita, yang kemudian mengalir pula ke dalam undang-undang dasar, negara kesatuan republik indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika.
“Budaya hukum kita itu bersumber dari dan mengalir pada Pancasila,” ujar Ketua Mahkamah Konstitusi Moh. Mahfud MD, saat menjadi narasumber dalam Sarasehan Budaya Nasional dengan tema “Implementasi Empat Pilar Kebangsaan melalui Strategi Pengembangan Budaya Nasional” yang diselenggarakan oleh Universitas Trisakti dan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Rabu (23/5) di Ruang Nusantara V Komplek Perkantoran MPR, DPR, dan DPD, Jakarta.
Pada kesempatan tersebut, hadir pula sebagai narasumber Wakil Pemimpin Umum Kompas ST. Sularto, Staf Pengajar Universitas Trisakti Pattaniari Siahaan, Seniman dan Budayawan Abdul Hadi, serta dari Dewan Ketahanan Nasional hadir dua pembicara Irwan Amrun dan Sugiarto.
Oleh karena itulah, menurut Mahfud, terdapat empat hal yang dikenal dengan penuntun bekerjanya hukum di negeri ini. Pertama, setiap hukum itu mesti menjamin integrasi. Yakni, menjamin keutuhan kita sebagai suatu bangsa. “Tidak boleh ada hukum yang menyempal, terpisah karena ikatan primordial, suku, ras, dan sebagainya,” katanya. “Hukum itu harus mengayomi semuanya.”
Kedua, lanjut Mahfud, hukum itu harus mempertemukan secara seimbang antara demokrasi dan nomokrasi. Artinya, menyeimbangkan antara kedaulatan rakyat dengan kedaulatan hukum.
Sedangkan ketiga, hukum haruslah berkeadilan sosial. Adapun yang keempat, harus berpijak dan bertujuan untuk memperkokoh toleransi di antara ikatan primordial atau unsur-unsur kebangsaan yang ada di Indonesia.
Menurut Mahfud, sebenarnya kita memiliki budaya hukum yang sudah cukup bagus, yakni penyelesaian konflik tanpa melalui jalur hukum formal yang lebih mengutamakan perdamaian. Cara ini biasa dikenal dengan hukum restoratif. “Artinya, menyelesaikan persoalan hukum kalau bisa tanpa pengadilan,” jelas Mahfud.
Namun sayangnya, kata dia, kecenderungan yang terjadi sekarang adalah sebaliknya. Yakni menyelesaikan semua masalah melalui pengadilan. Bahkan, untuk persoalan-persoalan hukum yang kerugiannya sangat kecil. “Kita ini mundur dalam penegakkan hukum,” simpuluya.
Sementara itu, menurut Mahfud, jika dikaji menggunakan tiga aspek penegakan hukum, yakni dari aspek substansi, struktur, dan kultur, menurutnya yang bermasalah adalah dari sisi struktur. “Yang bermasalah itu pada aparat penegak hukumnya, bukan isi (aturan) hukumnya,” tuturnya. “Dari segi substansi kita sudah selesai.”
Pada prinsipnya, Mahfud mengingatkan, hukum yang berdasarkan Pancasila itu berintikan keadilan, bukan formal-prosedural. Jadi, jangan sampai aturan dibuat untuk melegalisasi ketidakadilan. “Yang penting adil. Aturan dibuat untuk mewujudkan keadilan,” ucap Mahfud. Dan jika hukum sudah tidak memberikan keadilan dan pemimpin sudah tak bisa diandalkan, maka akan terjadi empat dis, yaitu disorientasi, distrust, disobedient, dan selanjutnya berujung pada disintegrasi. Dan, hal inilah yang paling tidak kita inginkan. (Dodi/mh)