Peserta Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (23/5). Kunjungan tersebut dimaksudkan untuk memperoleh pengetahuan lebih dalam mengenai MK dan sistim pengarsipan berkas-berkas perkara yang ada dan dimiliki di MK. Para peserta diklat yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia itu mendapat kehormatan dengan diberikan materi seputar MK langsung dari salah satu hakim MK yakni Ahmad Fadlil Sumadi. Selain mendapat materi dari Fadlil, para peserta juga berkeliling ke ruang risalah dan ruang rekam sidang MK untuk mengetahui tahapan pengarsipan di MK.
Dalam kesempatan itu, Fadlil menyampaikan materi seputar perubahan UUD 1945, implikasi dari amandemen UUD 1945, sampai penyebarluasan putusan MK. Memulai penjelasannya, Fadlil menyampaikan bahwa pada era tahun 1990-an terjadi gejolak dinamika politik di Indonesia yang mencapai puncaknya pada tahun 1998. “Perubahan UUD 1945 terjadi sejak 1999 sampai empat tahun kemudian, yaitu sampai tahun 2002. Perubahan UUD 1945 itu merupakan respon dari dinamika politik yang berlangsung sejak awal tahun 1990-an dan mencapai puncaknya pada tahun 1998 yang dikenal sebagai era reformasi,” jelas Fadlil.
Kemudian Fadlil menjelaskan bahwa dinamika politik yang memuncak hingga terjadi reformasi itu terjadi salah satunya karena penyelenggara negara tidak sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum dan demokrasi. Sebelum amandeman UUD 1945 terjadi, sistim mayoritas sangat “dijunjung” dalam penyelenggaraan negara. Akibatnya, penyelenggara negara dapat sewenang-wenang menjalankan kewenangannya sampai menimbulkan kerugian bagi rakyat saat itu. “Supaya (penyelenggara negara, red) tidak sewenang-wenang, diimbangilah pelaksanaannya dengan undang-undang atau hukum. Itulah mengapa Indonesia disebut sebagai negara hukum,” lanjut Fadlil.
Fadlil kemudian memberikan satu contoh penerapan prinsip negara hukum yang juga menjadi kewenangan MK, yaitu memutus dugaan DPR terhadap pelanggaran berat yang dilakukan presiden atau wakil presiden sehingga dapat diturunkan dari kekuasaannya. “Pemberhentian presiden tidak cukup dengan mekanisme politik, harus dibuktikan di pengadilan (dalam hal ini MK, red) baru nanti diserahkan kembali ke MPR,” tambahnya.
Beralih ke prinsip check and balances, Fadlil mengatakan bahwa sebelum amandemen UUD 1945 kedudukan antar lembaga negara tidak sejajar. Dengan kata lain, ada lembaga negara yang kedudukannya lebih tinggi dibanding lembaga negara lainnya sehingga hubungan antar lembaga negara berlangsung vertikal. Setelah amandemen UUD 1945, lanjut Fadlil, kedudukan antar lembaga negara sejajar sehingga antar lembaga negara dapat saling mengimbangi dengan mekanisme check and balances.
Melengkapi penjelasannya, Fadlil mengatakan kalau saat ini negara dan penyelenggara negara harus tunduk kepada hukum. Sehingga tidak mengherankan bila didapati anggota DPR, menteri, dan kepala daerah yang ditahan karena terlibat dalam suatu kasus. “Kalau dulu sebelum amandemen, mereka (penyelenggara negara, red) tidak ada yang bisa dihukum, untouchable. Hanya rakyat saja yang bisa ditahan. Kalau sekarang semua bisa ditahan, harus tunduk pada hukum, itu namanya equality before the law,” tegas Fadlil.
Terkait dengan kewenangan MK menguji undang-undang terhadap UUD 1945, Fadlil menjelaskan bahwa itu sesuai dengan hierarki hukum. Konstitusi sebagai hukum tertinggi harus ditegakkan. Dan salah satu bentuk penegakannya adalah dengan dapat diujinya suatu UU yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945, sehingga merugikan hak konstitusional warga negara.
“Meskipun anggota DPR sebanyak 505 orang ditambah presiden yang dipilih oleh sekitar 60 persen orang Indonesia membuat suatu undang-undang lalu ada sekelompok orang yang merasa UU itu merugikan bisa saja digugat ke MK. Kalau dulu, suatu undang-undang tidak bisa diganggu gugat,” tutur Fadlil yang juga menyampaikan implikasi dari amandemen UUD 1945 lainnya hingga kewenangan MK seperti memutus sengketa pemilukada (PHPU) dan memutus perkara perselisihan antar lembaga negara (SKLN).
Usai mendapat materi dari Fadlil, para peserta diklat ANRI berkeliling untuk melihat seluk beluk persidangan dalam gedung MK. Mereka sempat melihat ruang sidang MK, ruang rekam sidang, dan ruang risalah. Terkait dengan pengarsipan, para peserta diklat ANRI diberitahukan bahwa segala berkas perkara yang masuk ke MK sejak pendaftaran hingga putusan dapat diakses di website MK. Khusus untuk putusan MK yang disejajarkan dengan UU, maka putusan tersebut dimasukkan ke berita negara. Sedangkan untuk berkas lainnya disusun rapi kemudian diberikan kepada ANRI untuk dikelola. (Yusti Nurul Agustin/mh)