Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang Pengujian Undang-Undang (PUU) No. 41/1999 tentang Kehutanan - Perkara No. 35/PUU-IX/2012 - pada Rabu (23/5) siang di Ruang Sidang Pleno MK. Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan Pemerintah. Dalam persidangan hadir Dirjen Planologi, Bambang Supriyanto yang mewakili pihak Pemerintah. Seperti diketahui, Pemohon adalah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Kuntu, Kesatuan Masyarakat Adat Kesepuhan Cisitu.
Pada persidangan sebelumnya, Pemohon PUU Kehutanan mengajukan permohonan uji materiil terhadap Pasal 1 angka 6, sepanjang kata “negara” jo. Pasal 4 ayat (3) sepanjang frasa “sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional” jo. Pasal 5 ayat (1), ayat (2), ayat (3) sepanjang frasa “dan ayat (2)” dan hutan adat ditetapkan, sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada …”
Menurut Pemohon, pasal-pasal yang diajukan tersebut, secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan kerugian terhadap hak-hak konstitusional para Pemohon, antara lain hilangnya akses Pemohon I melakukan usaha pemajuan, pendampingan dan perjuangan hak-hak masyarakat hukum adat; hilangnya hak ulayat atas hutan, akses pemanfaatan dan pengelolaan kawasan hutan adat Pemohon II dan Pemohon III; kriminalisasi terhadap Pemohon III karena memasuki kawasan hutan.
Bambang Supriyanto yang mewakili pihak Pemerintah, menjelaskan bahwa pasal, ayat, bagian maupun frasa dalam undang-undang yang dimohonkan untuk diuji tidak mempunyai hubungan kausalitas atau tidak menimbulkan dampak kerugian baik potensial maupun aktual, langsung atau tidak langsung terhadap hak konstitusional para Pemohon.
“Kerugian hak-hak konstitusional para Pemohon secara potensial atau aktual, langsung atau tidak langsung ada, apabila pasal-pasal UU Kehutanan tersebut secara eksplisit maupun implisit mengandung maksud untuk meniadakan atau menghilangkan hutan adat,” jelas Bambang.
Dikatakan Bambang, fakta normatifnya justru sebaliknya, karena Pasal 1 angka 6 dan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 41/1999 tentang Kehutanan telah mengatur mengenai hutan adat. Hal ini mengandung makna bahwa UUtersebut tetap mengakui eksistensi hutan adat, sehingga hak konstitusional para Pemohon masih tetap diakui, dihormati dan dilindungi.
Bambang melanjutkan, meskipun hutan adat dimasukkan sebagai bagian dari hutan negara, namun hal tersebut tidak mengurangi makna eksistensi dan keberlangsungan hutan adat. Pemahaman dimaksud akan tercipta apabila para Pemohon memahami makna ketentuan Pasal 1 angka 6 serta Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) secara komprehensif, serta ketentuan Pasal 4 ayat (3) jis. Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4), serta Pasal 67 UU Kehutanan yang mengakui keberadaan masyarakat hukum adat dengan persyaratan tertentu.
“Artinya, jika masyarakat hukum adat diakui keberadaannya oleh UU No. 41/1999, maka berarti juga hutan adat sebagai salah satu unsur utama dan bagian tak terpisahkan dari masyarakat hukum adat sudah pasti diakui keberadaannya,” tegas Bambang.
Oleh karena itu, sambung Bambang, tidak benar dalil Pemohon yang menyatakan pasal-pasal yang diajukan untuk uji materi di MK dianggap telah menimbulkan kerugian bagi hak/kewenangan konstitusional para Pemohon.
“Selain itu, pencantuman persyaratan pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat tidak dimaksudkan dan juga tidak akan menyebabkan hilangnya eksistensi masyarakat hukum adat dan hutan adat. Persyaratan tersebut dimaksudkan agar keberadaan masyarakat hukum adat dan hutan adat tetap sesuai dengan komitmen dan ikatan kebangsaan yang sudah terlembagakan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai amanah konstitusi,” papar Bambang.
Dengan demikian, menurut Pemerintah, persyaratan yang diatur dalam pasal-pasal yang diajukan uji materi tidak bertentangan dengan konstitusi dan tidak tepat jika dianggap telah menimbulkan kerugian bagi hak/kewenangan konstitusional para Pemohon. Berdasarkan penjelasan Pemerintah itulah dapat disimpulkan bahwa pasal-pasal tersebut justru memberikan perlindungan dan penguatan terhadap hak-hak konstitusional para Pemohon, termasuk halnya eksistensi masyarakat hukum adat. (Nano Tresna Arfana/mh)