Mahkamah Konstitusi (MK) menolak untuk seluruhnya permohonan sengketa hasil Pemilukada Kabupaten Tolikara. Putusan dari permohonan yang diajukan oleh pasangan calon nomor urut 2 John Tabo-Hedi Suyanto dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD dalam sidang pleno pada Selasa (22/5).
“Mengadili, menyatakan dalam eksepsi, menolak eksepsi Pihak Terkait. Dalam pokok permohonan, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Mahfud dengan didampingi oleh enam hakim konstitusi lainnya.
Dalam pendapat hukum yang dibacakan oleh Wakil Ketua MK Achmad Sodiki, Mahkamah berpendapat alat bukti yang diajukan oleh Pemohon tidak relevan untuk membuktikan dalil-dalil Pemohon.”Berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah berpendapat tidak terbukti bahwa Termohon dan Pihak Terkait telah melakukan pelanggaran-pelanggaran yang terstruktur, sistematis, dan masif yang secara signifikan mempengaruhi peringkat perolehan suara masing-masing pasangan calon. Oleh karenanya, semua dalil Pemohon a quo tidak terbukti menurut hukum,” ujarnya.
Sodiki memaparkan Pemohon mendalilkan bahwa Termohon melakukan berbagai pelanggaran dalam penyelenggaraan pemilukada pada tingkat PPD dan KPPS untuk memenangkan Pihak Terkait di 27 distrik. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 47-81/PHPU.A-VII/2009, bertanggal 9 Juni 2009, Mahkamah memahami dan menghargai nilai budaya yang hidup di kalangan masyarakat Papua yang khas dalam menyelenggarakan pemilihan umum dengan cara atau sistem “kesepakatan warga” atau “aklamasi”. Mahkamah, lanjut Sodiki, menerima cara pemilihan kolektif tersebut, karena jika dipaksakan pemilihan umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dikhawatirkan akan timbul konflik di antara kelompok-kelompok masyarakat setempat. Mahkamah juga berpendapat, agar sebaiknya masyarakat tidak dilibatkan/dibawa ke sistem persaingan/perpecahan di dalam dan antarkelompok yang dapat mengganggu harmoni yang telah dihayati. Penerimaan atas cara yang realistis ini tentunya harus dilaksanakan dengan baik oleh penyelenggara atau panitia pemilihan umum.
“Telah menjadi fakta dalam persidangan bahwa baik Pemohon, Termohon, dan Pihak Terkait mengakui adanya proses “kesepakatan bersama” atau “aklamasi” yang dilakukan oleh masyarakat di distrik-distrik yang dipersoalkan oleh Pemohon a quo. Jikalaupun memang benar dalil Pemohon bahwa terdapat sebagian masyarakat yang tidak sepakat dengan pilihan kesepakatan bersama tersebut, namun Pemohon tidak memiliki cukup bukti bahwa hal tersebut dilakukan dengan cara yang penuh paksaan, intimidasi dan bahkan Pemohon tidak memiliki cukup bukti. Oleh karenanya, menurut Mahkamah, dalil Pemohon a quo tidak terbukti menurut hukum,” papar Sodiki.
Dalil Pemohon lainnya pun, jelas dinilai Mahkamah tidak terbukti menurut hukum. Dalil- dali tersebut di antaranya Termohon menggelembungkan suara Pihak Terkait dan menghilangkan suara Pemohon, penetapan perubahan jadwal pelaksanaan Pemilukada yang tidak jelas dan cenderung dipaksakan oleh Termohon guna kemenangan Pihak Terkait, penggantian dan penetapan PPD, PPS, dan KPPS tidak jelas dan pembentukannya diarahkan untuk kemenangan Pihak Terkait serta Pihak Terkait seharusnya tidak lolos sebagai Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati 2012. Oleh karena itu, dalam konklusi yang dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD, Mahkamah berkesimpulan bahwa Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan tersebut. “Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo. Permohonan diajukan masih dalam tenggang waktu yang ditentukan. Eksepsi Pihak Terkait tidak beralasan hukum. Dalil permohonan Pemohon tidak terbukti menurut hukum,” terangnya. (Lulu Anjarsari/mh)