Sistem politik yang kita bangun saat ini cenderung salah. Sebab, tanpa disertai rambu-rambu yang tegas dan tidak terdapat ukuran-ukuran kualitatif yang jelas dalam memilih calon pemimpin yang ada.
“Sistem rekrutmen politik perlu dibicarakan ulang,” tegas Moh. Mahfud MD selaku Ketua Ikatan Keluarga Alumni Universitas Islam Indonesia Yogyakarta kepada para wartawan yang hadir dalam konferensi pers Seminar Nasional memperingati Kebangkitan Nasional yang digelar oleh IKA UII Yogyakarta, Selasa (22/5), di Penang Bistro. Rencanannya, seminar nasional dengan tema “Merindukan Negarawan” ini akan digelar pada Kamis (24/5) di Hotel Gran Melia, Jakarta.
Dalam konferensi pers tersebut, Ketua Mahkamah Konstitusi Moh Mahfud MD dalam hal ini bertindak sebagai Ketua IKA UII. Pada kesempatan tersebut hadir pula Ketua IKA UII Jakarta dan sekitarnya Halim Alamsyah, Ketua Panitia Ari Yusuf Amir, dan Hamid Basyaib.
Selain Mahfud, Ari Yusuf Amir, menuturkan, akan hadir sebagai pembicara utama dalam seminar tersebut adalah Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri. Sedangkan pembicara lainnya, ialah Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan, mantan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal TNI (Purn) Ryamrizard Ryacudu, dan CEO Lippo Group James Riady.
Jika sistem politik yang salah terus berlangsung dan semua orang tidak peduli akan hal itu, lanjut Mahfud, maka negara ini berjalan ke arah yang semakin kelam dan gelap. “Tinggal menunggu waktu menuju kehancuran,” katanya.
Oleh karena itu, menurut Mahfud, membangun kesadaran akan kondisi kebangsaan dan kenegaraan adalah peran seluruh rakyat, khususnya adalah para alumni UII yang tersebar di beberapa institusi, baik swasta maupun negeri. “Semua orang itu wajib berpolitik. Politik itu fitrah,” tuturnya. Sebab, dengan memgambil sikap ataupun tidak sama sekali, tetap saja itu adalah pilihan politik.
Menurut Mahfud, politik ada dua level. Pertama, politik tingkat tinggi, yakni politik dalam tataran ide atau pemikiran. Kedua, politik tingkat rendah, yaitu politik dalam tataran politik praktis. Nah, pada ranah politik tingkat tinggi inilah seminar ini dimaksudkan. “Politik tingkat tinggi itulah yang akan dibicarakan dalam seminar ini nanti,” jelasnya.
Setidaknya, sambung dia, perlu percikan-percikan pemikiran tentang sosok negarawan dalam isu dan wacana di masyarakat dewasa ini. Sekarang ini, menurut Mahfud, masyarakat mulai kehilangan teladan tentang seorang negarawan. “Sekarang ini nampaknya mulai hilang,” ujarnya. Padahal, dulu kita pernah memiliki banyak tokoh-tokoh sekaliber Soekarrno, Natsir, Wachid Hasyim, atau Hamka yang layak diteladani sebagai negarawan.
“Mereka yang tidak mementingkan kepentingan jangka pendek, tapi lebih mementingkan kepentingan bangsa dan negara di atas segalanya,” tegasnya tentang karakter seorang negarawan.
Sayangnya, menurut Mahfud, saat ini ketika bicara tentang seorang pemimpin, misal calon presiden, kebanyakan dalam survei-survei yang dinilai adalah hanya terkait tiga hal, yakni popularitas, akseptabilitas, dan elektabilitas. “Menurut saya itu sesat,” cetusnya.
Menurut dia, seharusnya ada dua poin utama yang mesti dinilai ketika bicara tentang seorang pemimpin. Pertama, moralitas. Kedua, integritas. Setelah itu baru bicara layak atau tidaknya seseorang. Meskipun, dia juga tidak memungkiri bahwa tiga penilaian yang sering digunakan tersebut merupakan faktor yang penting dan menentukan pula dalam ‘membaca pikiran’ masyarakat pada umumnya.
Hamid Basyaib menimpali, apa yang terjadi saat ini merupakan harga yang harus dibayar oleh bangsa ini ketika kita mengalami ledakan kebebasan pasca reformasi 1998. Menurutnya, apapun yang telah terjadi sekarang, kita tetap mesti membangun optimisme dengan memberikan inspirasi, setidaknya melalui pemikiran-pemikiran tentang kebangsaan dan kenegaraan. “Roda bangsa terus berputar,” ujarnya. “Dengan segala ketersandungan ini, kita harus tetap jalan.” (Dodi/mh)