Mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Jayabaya dan mahasiswa yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Jakarta Timur berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (21/5). Sekitar 50 orang mahasiswa tersebut berkunjung ke MK untuk bertemu dengan hakim MK, yakni Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar sekaligus ingin mendapatkan “kuliah umum” dari hakim konstitusi yang terkenal lugas berbicara itu. Para mahasiswa sebelumnya mengirimkan surat kepada Ketua MK agar mendapat “pencerahan” dari Akil Mochtar yang disebutkan secara spesifik dalam surat tersebut.
Akil menyempatkan diri menerima kedatangan rombongan mahasiswa yang datang terlambat. “Saya sudah tunggu sejak pagi. Salah satu yang dibanggakan dari MK adalah budaya tepat waktu. Sebab, berperkara di MK tidak dipungut biaya sepeser pun. Hanya satu yang kami minta, yaitu para pihak datang tepat waktu dalam persidangan. Sesibuk apa pun kondisinya, kami di MK selalu mengusahakan sidang digelar tepat waktu. Itulah wujud konsistensi kami,” ujar Akil membuka perjumpaan itu seraya memperkenalkan budaya tepat waktu terkait persidangan di MK.
Usai memberi pengantar tersebut, Akil mulai memaparkan materi tentang MK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Akil memulai penjelasannya dengan mengatakan pada periode tahun 1997-1998, ketika reformasi politik di Indonesia terjadi, dimana salah satu kesepakatan para tokoh saat itu adalah mereformasi konstitusi terlebih dulu. Hal itu menjadi penting dilakukan karena konstitusi merupakan hukum tertinggi yang fundamental bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. “Konstitusi itu tidak hanya Undang-Undang Dasar saja, tetapi termasuk praktik-praktik penyelenggaraan negara dalam arti yang luas. Maka konstitusi itu harus berjalan seiring dengan perkembangan hidup berbangsa dan bernegara. Konstitusi itu harus hidup, the living constitution,” jelas Akil bersemangat seperti biasa.
Sebelum terjadi amandemen konstitusi, UUD 1945 tidaklah mampu menyelesaikan persoalan-persoalan yang muncul dalam praktik ketatanegaraan, terutama pada mekanisme check and balances. Dijelaskan lebih real oleh Akil, ketika rakyat bersengketa dengan pemerintah, UUD 1945 sebelum diamandemen tidak memiliki solusi untuk masalah tersebut.
UUD 1945 yang sebelum diamandemen tidak memiliki mekanisme menjaga keseimbangan kekuasaan antar lembaga negara (check and balances) disebabkan penerapan sistim pembagian kekuasaan (distribution of power) yang tidak dilakukan secara benar. “Oleh karena itu pembentukan MK dimaksudkan untuk menjaga, memperkuat dasar-dasar konstitusionalisme, dan menyelesaikan sengketa menyangkut sistim ketatanegaraan yang demokratis dalam rangka mewujudkan mekanisme pemisahan kekuasaan (separation of power),” lanjut Akil.
Melanjutkan penjelasannya, Akil mengatakan terbentuknya MK merupakan wujud nyata dari fakta bahwa diperlukannya keseimbangan dan kontrol antar lembaga negara. Kehadiran MK juga menegaskan bahwa prinsip negara hukum dan perlindungan terhadap hak asasi atau hak konstitusional setiap warga negara yang telah dijamin oleh UUD 1945. “Ciri negara hukum itu terdapat peradilan yang bebas dan peradilan yang bisa menyidangkan perkara antar penyelenggara negara dengan rakyatnya. Sedangkan ciri negara demokrasi yang konstitusional itu semua hal bisa diuji dan di dalam UUD 1945 kewenangan untuk menguji itu diberikan kepada MK,” tambah Akil.
Beralih ke pembahasan lainnya, Akil menjelaskan bahwa MKRI (MK Republik Indonesia) merupakan MK yang ke-77 di dunia. Semua MK di dunia memiliki satu kesamaan, yaitu kewenangan untuk menguji UU. Meskipun di beberapa negara, seperti Amerika Serikat (AS) tidak ada lembaga khusus bernama MK, tetapi tetap MA dengan salah satu kewenangannya menguji UU.
Sebelum menutup paparannya, Akil mengungkapkan empat kewenangan dan satu tugas MK. Keempat kewenangan tersebut yaitu, mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD 1945, memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutuskan pembubaran Parpol, dan memutuskan perselisihan hasil pemilu. Sedangkan satu kewajiban yang dimiliki MK, yaitu memberikan putusan terhadap pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan presiden dan wakil presiden menurut UUD 1945. (Yusti Nurul Agustin/mh)