Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati menerima kunjungan dari mahasiswa Program Studi Kajian Gender Pasca Sarjana Universitas Indonesia, Senin (21/5) pagi, di Ruang Rapat Lantai 11 Gedung MK. Selain diikuti oleh para mahasiswa, dalam kunjungan kali ini hadir pula staf pengajar dari UI Francisia Saveria Sika Ery Seda.
Pada kesempatan tersebut, Maria memberikan materi singkat tentang MK dengan judul “Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia”. Dalam paparannya, dia menjelaskan berbagai hal, diantaranya tentang sejarah terbentuknya MK, persyaratan menjadi hakim MK, kewenangan MK, hingga alur penanganan perkara di MK. “Tidak dipungut biaya sejak awal hingga diputuskan,” ucapnya saat menerangkan proses beracara di MK.
Di samping itu, Maria juga melayani beberapa pertanyaan dari para peserta. Maria antara lain ditanya tentang seberapa penting keberadaan naskah akademik dalam pembahasan sebuah rancangan undang-undang serta apakah perspektif kesetaraan gender (perempuan) dipertimbangkan dalam tiap putusan di MK.
Menurut Maria, pada dasarnya undang-undang itu berlaku dan mengikat setiap orang. Jadi, tidak ada undang-undang yang membeda-bedakan, misal: hanya berlaku untuk perempuan saja, atau sejenisnya. “Karena undang-undang itu bersifat erga omnes,” katanya. Namun, yang sering terdapat diskriminasi adalah dalam segi substansinya.
Dia menegaskan bahwa dalam setiap pengambilan keputusan di MK, selalu mempertimbangkan banyak hal, salah satunya adalah perspektif gender (kepentingan perempuan). Dan, yang perlu digarisbawahi, menurut Maria adalah independensi hakim di MK. Menurut dia, independensi hakim MK dapat dilihat pada adanya mekanisme dissenting opinion dalam putusan. Setiap hakim dihargai pendapatnya, bahkan jika pendapat tersebut berbeda dengan putusan yang disepakati oleh mayoritas hakim.
Terhadap pertanyaan apakah perlu adanya sebuah naskah akademik dalam penyusunan undang-undang, Maria, secara pribadi, berpendapat semestinya tidak perlu. “Secara akademis itu tidak tepat,” ujarnya.
Salah satu alasannya, lanjut dia, biasanya kementerian atau departemen terkait sudah melakukan kajian dan penelitian secara komprehensif sebelum menyusun sebuah undang-undang. Di mana, urgensi, argumentasi, dan tujuan pembentukan sebuah undang-undang biasanya sudah jelas ada di sana. “Itu sudah cukup,” katanya.
Namun, sambung Maria, secara normatif sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, mengharuskan keberadaan naskah akademik itu dalam setiap proses pembentukan undang-undang. Sehingga, ia mengingatkan, setuju maupun tidak, ketentuan tersebut harus ditaati, khususnya bagi pembentuk undang-undang.