Menyerahkan penentuan harga bahan bakar minyak (BBM) kepada mekanisme pasar bertentangan dengan semangat yang dikandung dalam Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu, bertentangan pula dengan putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara No. 002/PUU-I/2003 dalam pengujian Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi. Demikian setidaknya inti dari permohonan para Pemohon dalam Perkara No. 42/PUU-X/2012 dan Perkara No. 43/PUU-X/2012.
Sidang pendahuluan kedua perkara tersebut digelar oleh MK pada Rabu (16/5) di ruang sidang Panel MK. Pemohon dalam Perkara No. 42/PUU-X/2012 tersebut terdiri dari Perhimpunan Magister Hukum Indonesia (PMHI), Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk Kebenaran dan Keadilan Negara Kesatuan Republik Indonesia (PEMBELA NKRI), Eddy Wesley Parulian Sibarani, Masyur Maturidi, dan M. Fadhlan Hagabean Nasution.
Sedangkan para Pemohon dalam Perkara No. 43/PUU-X/2012, terdiri dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI), Federasi Serikat Buruh Indonesia (FSBI), dan Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang dan Kulit (FSPTSK).
Dalam permohonannya, para Pemohon sama-sama menguji Pasal 7 ayat (6a) Undang-Undang No. 4 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012. Namun, dalam permohonan Perkara No. 43/PUU-X/2012, Pemohon juga menguji Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 15A UU APBNP TA 2012.
Menurut kuasa hukum Perkara No. 42 Virza Roy Hizal, terdapat dua alasan utama dalam permohonannya. Pertama, ketentuan tersebut telah menimbulkan ketidakpastian hukum. “Karena bertolak belakang dengan Pasal 7 ayat (6) Undang-Undang No. 4 Tahun 2012,” ujarnya. Di mana, pada ayat (6) menyatakan harga jual eceran BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan, sedangkan dalam ayat (6a) malah memungkinkan adanya kenaikan. Sedangkan alasan kedua, ialah adanya ketidakjelasan rumusan dalam Pasal 7 ayat (6a) yang diuji tersebut. Khususnya terkait pemberian jangka waktu.
Pasal 7 ayat (6a) Undang-Undang No. 4 Tahun 2012 berbunyi, “Harga jual eceran BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan, kecuali dalam hal harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) dalam kurun waktu berjalan mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15% (lima belas persen) dari harga ICP yang diasumsikan dalam APBN Perubahan Tahun Anggaran 2012, Pemerintah berwenang untuk melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi dan kebijakan pendukungnya.”
Menurutnya, dengan rumusan seperti itu, sama saja Dewan Perwakilan Rakyat telah menyetujui untuk menyerahkan harga BBM kepada mekanisme pasar. “Keputusan paripurna DPR tersebut merupakan kemenangan doktrin mekanisme pasar,” tegasnya. Dengan kata lain, ketentuan tersebut tidak mempertimbangkan putusan MK No. 002/PUU-I/2003.
Hal itu kemudian diamini pula oleh kuasa hukum Pemohon Perkara No. 43 Surya Candra. Selain itu, ia menuturkan beberapa alasan terkait pengujian terhadap Pasal 7 ayat (1) UU APBNP TA 2012. Dalam pasal ini disebutkan besaran anggaran untuk subsidi bahan bakar minyak (BBM) jenis tertentu dan bahan bakar gas cair (liquefied petroleum gas (LPG)) tabung 3 (tiga) kilogram Tahun Anggaran 2012.
Menurut Surya, terdapat mark up atau penggelembungan nilai anggaran sehingga seolah-olah keadaan sangat darurat. “Membesar-besarkan potensi kerugian ketika memberikan subsidi,” tuturnya.
Selain itu, dia juga berpendapat, aturan tersebut tidak melalui prosedur yang wajar. “Tidak ada audit BPK,” katanya.
Tidak hanya itu, dalam permohonannya Surya juga mempersoalkan ketentuan terkait bantuan langsung sementara masyarakat yang terdapat dalam UU APBNP TA 2012. Menurutnya, ketentuan itu tidak memberikan solusi. “Tidak produktif, membodohi rakyat,” cetusnya.
Setelah mendengarkan pokok-pokok permohonan, Panel Hakim Konstitusi yang diketuai oleh Hakim Konstitusi Harjono dengan didampingi Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati kemudian memberikan beberapa saran perbaikan kepada para Pemohon. (Dodi/mh)