Sidang kedua pasca putusan sela Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Kabupaten Dogiyai, Papua kembali digelar, Senin (14/5). Jika sidang pertama pasca putusan MK yang memerintahkan digelar Pemungutan Suara Ulang (PSU) di Distrik Piyaiye beragendakan mendengar laporan KPU, sidang kali ini beragendakan mendengar keterangan saksi dari Pemohon dari Pasangan Thomas Tigi-Herman Auwe (No. Urut 1, red).
Sidang dimulai dengan pengambilan sumpah dari para saksi Pemohon yang hendak menyampaikan keterangan di hadapan panel hakim. Selain saksi Pemohon, pengambilan sumpah juga dilakukan kepada seorang penerjemah. Penerjemah tersebut ditugaskan untuk menerjemahkan bahasa suku Piyaiye ke bahasa Indonesia. Penggunaan penerjemah itu dikarenakan sebagian besar saksi tidak bisa berbahasa Indonesia.
Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat, Gusti Putu Arthe bertindak sebagai saksi Pemohon nomor 3/PHPU.D-X/2012 menyampaikan keterangan di hadapan panel hakim tentang kronologi kegiatan PSU dan keterlibatannya dalam PSU tersebut. Mula-mula, Putu Arthe menyampaikan bahwa ia kerap berkomunikasi dan memberikan “pengayaan” kepada anggota KPU Kab. Dogiyai. Pengayaan tersebut dilakukannya tidak hanya semenjak PSU diputuskan oleh MK, tapi sejak satu tahun terakhir. “Hampir satu tahun terakhir saya sangat intensif sekali berkomunikasi dengan anggota KPU Dogiyai. Bahkan hampir dua hari sekali kami berkomunikasi, baik secara langsung dan lewat alat komunikasi. Bertemu secara fisik juga pernah beberapa kali. Kadang bertemu dengan Ketua dan Anggota KPU Dogiyai seluruhnya, kadang hanya dengan ketua saja, kadang juga bertiga,” jelas Putu Arthe.
Putu Arthe juga menegaskan bahwa dialah yang meyakinkan KPU Kab, Dogiyai untuk melanjutkan Pemilukada Dogiyai meski hanya dengan tiga pasangan calon. Pada waktu terjadi kekisruhan di Distrik Piyaiye pada Pemilukada Ka. Dogiyai yang pertama, lanjut Putu Arthe, ia menyampaikan kepada KPU Kab. Dogiyai untuk tidak menetapkan calon terpilih dulu dan jangan membawa dokumen-dokumen terkait ke MK dulu. “Saat itu saya punya inisiatif untuk menyelesaikan itu (kisruh di Piyaiye, red) ke Jayapura dengan maksud membantu mereka mencari tahu bagaimana verifikasi di Piyaiye sebenarnya. Tapi dokumen itu menurut informasi sudah dibawa ke MK, perkaranya sudah didaftarkan ke MK, meski belum proses sidang. Karena sudah ditangani MK, kami menghormati semua proses yang ada di MK,” jelas Putu Arthe.
Namun, Putu Arthe melihat sebenarnya ada problem internal di tingkat penyelenggara di Distrik Piyaiye sehingga ia memutuskan untuk langsung mengawasi PSU dengan didampingi Cipto Wibowo dari KPU Provinsi Papua. Namun, niat Putu Arthe tidak terlaksana lantaran jadwal PSU berubah dari tanggal 27 Maret 2012 ke tanggal 2 April 2012.
Hadir juga sebagai saksi Pemohon nomor 3/PHPU.D-X/2012, yaitu Kepala Suku Besar untuk delapan kampung di Distrik Piyaiye, Philipus Makai. Dengan menggunakan perantara penerjemah, Philipus menjelaskan bahwa sejak pemungutan suara Pemilukada Dogiyai tanggal 9 Januari 2012, masyarakat delapan kampung di Distrik Piyaiye setuju menggunakan sistim kesepakatan bersama. “Pemungutan suara yang kedua juga dilakukan dengan cara kesepakatan. Waktu itu tanggal 26 Maret 2012 kami ke Ibu Kota Distrik Piyaiye untuk mengadakan kesepakatan sekaligus melakukan pesta adat,” ujar Philipus yang diterjemahkan.
Alnord Magai, anggota Panitia Pemilihan Distrik (PPD) Piyaiye yang juga menjadi saksi Pemohon nomor 3/PHPU.D-X/2012 dalam persidangan kali ini menjelaskan bahwa rekapitulasi di tingkat PPD Piyaiye dilakukan secara terbuka. “Rekap dilakukan setelah menerima rekap dari PPS untuk 8 kampung, 16 TPS diterima pada tanggal 3 sampai 4 April 2012. Rekapitulasi dilakukan pada tanggal 5 April 2012 yang disaksikan anggota masyarakat, KPPS, PPS, semua saksi-saksi pasangan calon, anggota KPU,anggota Panwas, dan pihak Polres,” jelas Aalnord yang kali ini tanpa dibantu oleh penerjemah. (Yusti Nurul Agustin/mh)