Pelecehan anak di luar perkawinan nyata terjadi dengan segala sebutan baik anak haram, anak kowar, dan lain sebagainya. Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Achmad Sodiki dalam hal ini menyatakan bahwa anak di luar perkawinan merupakan sosok manusia yang tidak utuh lagi, karena adanya perlakuan yang diskriminatif dalam memperoleh haknya sebagai manusia yang tidak berdosa.
Demikian disampaikannya saat menjadi narasumber dalam sebuah acara Seminar Nasional oleh Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Jakarta dengan tema “Eksistensi Anak Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Judicial Review Pasal 43 ayat (1) No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan,” Sabtu (12/5) di Gedung Pengurus Besar Nahdlotul Ulama (PBNU), Jakarta.
Hal ini antara lain disebabkan, Sodiki melanjutkan, adanya Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan sebelum ada putusan MK, yang berbunyi “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya”. Menurut Sodiki, “Kenapa undang-undang tersebut lebih melindungi laki-laki yang dengan babas melakukan perbuatan zina yang kemudian jika lahir seorang anak ia dibebaskan dari tanggungjawab keperdataan?”
Setelah melakukan berbagai pertimbangan, menurut Wakil Ketua MK tersebut, akhirnya Mahkamah menemukan solusi dimana dalam putusan MK disebutkan sebuah prinsip yaitu“seseorang tidak boleh menanggung beban kerugian atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain”. “Oleh karena itu, hubungan anak di luar perkawinan hanya dengan ibu dan keluarga ibunya, tetapi tidak memberikan beban yang seimbang dengan laki-laki yang menghamilinya merupakan melanggar asas proporsionalitas (keseimbangan),” terang Guru Besar Universitas Brawijaya ini.
Achmad Sodiki dalam penjelasan tersebut juga diperkuat penjelasan Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi. Sebagai narasumber acara tersebut, Fadlil Sumadi mengatakan bahwa orang Indonesia melihat perkawinan sebagai implementasi hukum keagamaan dan hukum perundang-undangan negara. “Ini frame yang harus kita bangun dalam melihat putusan MK dari perpektif ini, dan jangan dilepaskan dari yang lain,” ingatnya.
Dia menyakinkan bahwa perkawinan kalau hanya melihat dari perspektif agama saja tidak akan bisa, begitu juga kalau dilhat dari perspektif negara saja juga tidak bisa. Kemudian Fadlil mengatakan bahwa kalau dilihat dari perspektif umum, perkawinan merupakan hak beragama, dan hal hak asasi berkeluarga. “Jadi banyak dimensi (Perkawinan) yang bisa dipertimbangan,” terangnya.
Untuk itu, dalam putusan MK, sambung Fadlil Sumadi, pasal tersebut oleh Pemohon mengatakan dalam permohonannya bahwa dia merasa dirugikan hak kepastian hukum yang adil, hak perlakuan hukum dari diskriminasi. “Karena saya yang telah dinikahi oleh seorang pria, cuma tidak dicatatkan,” kata Fadlil menirukan penjelasan Pemohon kala itu.
Kemudian saat anak itu lahir sesuai dengan penjelasan Pemohon, lanjut Fadlil, suaminya tidak bertanggung jawab, padahal mereka sudah menikah. “Dia kehilangan hak untuk diakui sebagai istri sahnya, kehilangan hak anaknya untuk diakui dari perspektif keperdataan sebagai anak,” jelasnya.
“Oleh karena itu, MK memutuskan pasal itu inkonstitusional tapi bersyarat kalau dia meniadakan hubungan laki-laki yang menyebabkan hamilnya perempuan dengan anak tersebut,” tutur Fadlil. Pertimbangan penting dalam putusan tersebut, menurut Fadlil selaku hakim konstitusi, “siapa yang berbuat dialah yang bertanggung jawab terhadap segala yang terjadi sebagai akibat”.
Keterangan terakhir, Fadlil mengingatkan, UU Perkawinan tersebut merupakan unifikasi dalam hukum formal, dan plurarisme dalam perspektif materiil atau substansi. “Oleh karena itu, pengertian hubungan keperdataan yang di dalamnya terdapat pranata-pranata yang sangat luas itu diberikan kepada kebebasan kepada para pemeluk agama itu untuk menentukan. Semisalnya boleh waris tetapi tidak boleh mengawini ya silakan, kalau misalnya boleh dikawini yah silakan kalau menurut agamanya begitu,” urainya menjelaskan sesuai hukum agama masing-masing mengenai hubungan keperdataan tersebut.
“Yang jelas wilayah agama itu, bukan wilayahnya MK. Oleh karena itu, tidak ada hukum agama yang ditabrak oleh MK,” pungkas Fadlil saat menegaskan kedudukan MK saat menyikapi masalah perkawinan dalam agama.
Narasumber lain juga dihadirkan dalam acara tersebut, diantaranya Asrorun Ni’am Sholeh selaku perwakilan dari Majelis Ulama Indonesia, dan Kepala Bidang Urusan Agama Kementerian Agama Provinsi DKI Jakarta Mukhobar. Menurut Asrorun, putusan MK mengharuskan pemerintah konsolidasi untuk mencari jalan keluar yang enak. “Instansi yang paling berperan terkait dengan keputusan MK ini setidaknya ada tiga lembaga, yaitu Kementerian Agama atau Ditjen Bimas Islam, Kementerian Dalam Negeri atau Ditjen Dukcapil, dan Mahkamah Agung atau Dijen Badilag,” terangnya.
Selanjutnya, Mukhobar dalam penjelasannya mengakui bahwa UU Perkawinan memang diambil dari kalangan masyarakat terkait dengan nilai filosofis, adat istiadat, dan lain sebagainya. “Dan ini yang harus kita perhatikan bersama,” pintanya. Dengan terbentuknya UU ini, lanjutnya, agar memberikan rasa ketertiban dan rasa keamanan tentang masalah-masalah pernikahan. (Shohibul Umam/mh)