Salah satu pentingnya keberadaan Mahkamah Konstitusi adalah untuk mengimbangi kekuasaan legislatif. Di mana, MK dapat melakukan judicial review terhadap undang-undang yang telah dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah.
Demikian setidaknya hal itu terungkap dalam kuliah singkat yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi kepada rombongan dosen dan mahasiswa dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lambung Mangkurat (UNLAM) Banjarmasin yang berkunjung ke MK, Jum’at (11/5), di Ruang Konpers lt. 4 Gedung MK.
Kenapa mesti diimbangi? Menurut Fadlil, terdapat beberapa alasan. Salah satunya adalah karena proses pembentukan hukum di ranah legislatif berdasarkan kepada mekanisme politik yang pengambilan keputusannya berbasis mayoritas. Padahal, suara mayoritas belum tentu benar. Bahkan, cenderung kepentingan politik ditujukan untuk keuntungan segelintir kelompok saja.
“Mekanisme politik itu berdasarkan sistem mayoritas,” tuturnya. “Artinya, yang temannya paling banyak dialah kepentingannya yang paling terpenuhi.”
Apalagi, sambung Fadlil, pembentukan hukum melalui mekanisme mayoritas tersebut acapkali melupakan nilai keadilan. Menurut dia, hukum itu seperti pisau. “Hukum itu bisa untuk kebaikan, bisa juga untuk menyakiti orang lain,” ujarnya.
Oleh karena itulah diperlukan sistem saling kontrol dan mengimbangi antar cabang kekuasaan. Agar produk hukum yang dihasilkan dari mekanisme politik tersebut tetap sesuai dengan hukum yang lebih tinggi dan memberikan keadilan bagi masyarakat. Dalam ranah inilah MK mengambil perannya. Peran MK adalah menjaga agar hukum, khususnya undang-undang, tetap sejalan dengan nilai-nilai konstitusi, yakni sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Setelah memaparkan materinya, Fadlil kemudian memberikan kesempatan kepada para peserta untuk bertanya. Namun, pertanyaan yang diajukan oleh para peserta kebanyakan lebih terkait putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 dalam perkara Pengujian Undang-Undang Perkawinan. Mereka mempertanyakan putusan MK tersebut karena dalam putusan ini terkesan MK telah melegalkan zina.
Fadlil pun memberikan jawabannya. Menurut Fadlil, sebelum ‘menggugat’ atau mempertanyakan putusan MK itu sebaiknya baca dan pahami terlebih dahulu putusan tersebut secara komprehensif. Sebab, secara tegas MK tidak pernah menyatakan melegalkan zina dalam putusan itu. Pada intinya, kata dia, MK bermaksud untuk melindungi hak anak yang dilahirkan. “Siapa yang berbuat dialah yang harus bertanggungjawab atas akibat yang terjadi atas tindakannya itu,” papar Fadlil.
Usai mendapatkan penjelasan dari Fadlil, tampak beberapa mahasiswa yang awalnya ragu mulai bisa menerima kenapa MK menjatuhkan putusan dengan amar seperti itu. Bahkan, Fadlil mengatakan, dirinya bersedia diundang berdiskusi untuk mensosialisasikan dan menjernihkan keraguan atas putusan tersebut sebagaimana terjadi selama ini. (Dodi/mh)