Peserta Program Pendidikan Sekolah Pimpinan Tinggi (Sespimti) Polri, Kamis (10/5), berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka yang berjumlah sekitar delapan orang tersebut diterima langsung oleh Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar di Gedung MK, Jakarta. Peserta yang disiapkan untuk menjadi pimpinan di organisasi Polri tersebut bermaksud salah satunya mengetahui kewenangan dan kewajiban MK.
Berawal dari tujuan mereka datang, Akil Mochtar mulai menjelaskan berkenaan dengan lembaga peradilan MK. Dalam hal ini, kata Akil, lembaga peradilan MK mempunyai empat kewenangan dan satu kewajiban yang disebutkan secara langsung dalam UUD 1945.
Kewenangan tersebut, lanjut Akil, yakni MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Kemudian, MK juga mempunyai kewenangan memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Selain itu, lembaga MK juga mempunyai kewenangan memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Sementara itu MK juga mempunyai satu kewajiban yakni MK wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. “Itulah kewenangan Mahkamah Konstitusi yang langsung dari Undang-Undang Dasar,” jelasnya.
Kemudian, sambung Akil, Mahkamah Agung yang dahulunya mempunyai kewenangan terkait dengan perselisihan hasill Pemilukada (Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Daerah), namun sekarang kewenangan tersebut dimiliki oleh MK. “Itu satu-satunya kewenangan Mahkamah Konstitusi yang tidak langsung dari Undang-Undang Dasar,” ungkapnya.
Dalam pertemuan tersebut, Akil juga menyampaikan putusan-putusan MK yang berkaitan dengan hukum pidana dan penegakan hukum, serta dibahas juga berkenaan dengan pemikiran dalam bidang kebijakan pemberantasan korupsi. Misalnya, Akil menjelaskan putusan No. 65/PUU-VIII/2010 tentang pengujian UU No. 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana, khususnya Pasal 65, Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4). Persoalan yang disidangkan, kata dia, adalah tentang pengertian saksi yang menguntungkan.
Kemudian menanggapi pertanyaan tentang kewenangan MK yang bisa membatalkan undang-undang, Akil mengatakan, sesungguhnya produk undang-undang yang dibuat oleh DPR, tidak hanya mempunyai kepentingan politik, tetapi juga kepentingan kelompok. Di dalam DPR juga terdapat sistem pengambilan keputusan berdasarkan suara mayoritas atau suara terbanyak. “Oleh karena itu, ruangnya harus dibuka disini (MK),” ucapnya. “Uji kita bukan menurut hakim, tapi menurut konstitusi,” jelasnya.
lebih penting lagi, kata Akil, Gagasan mengenai MK sudah ada sejak dulu. Bagaimana perdebatan terjadi antara Supomo dan Muhammad Yamin tentang pembentukan sebuah lembaga untuk bisa membanding atau menguji undang-undang yang dibuat oleh DPR dan Presiden. “Soepomo bilang saya kira kita perlu sebuah Mahkamah yang bisa membanding undang-undang yang dibuat oleh DPR dan Presiden. Ditantang oleh Yamin, tidak bisa kareka kita bukan menganut pemisahan kekuasaan,” ucap Akil menirukan perdebatan kala itu.
Tetapi, kata Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjajaran Bandung itu, tidak hanya alasan itu yang diungkapkan dalam perdebatan tersebut. Namun yang terpenting dari pernyataan Yamin yang bisa diterima adalah bukan pemisahaan kekuasaan yang dimaksudkan tetapi pembagian kekuasaan. (Shohibul Umam/mh)