Sidang lanjutan Pengujian Undang-Undang (PUU) No. 31 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Lingga Provinsi Kepulauan Riau kembali digelar untuk ketiga kalinya, Rabu (9/5). Sidang kali ini beragendakan mendengarkan keterangan ahli dari Pihak Pemohon Perkara No. 32/PUU-X/2012, yaitu salah satunya Maruarar Siahaan.
Di hadapan panel hakim yang diketuai Achmad Sodiki, Mantan Hakim MK Maruarar Siahaan menyampaikan keterangannya. Memulai penjelasannya, Maruarar mengatakan pemekaran daerah yang masih berlangsung sampai sekarang sering membawa “komplikasi”. Mengguritanya masalah baru yang disebabkan pemekaran wilayah sesungguhnya dapat dielakkan jika pembentuk undang-undang konsisten mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mengajak daerah-daerah yang berdampingan dengan wilayah pemekaran untuk duduk bersama juga dapat “meredam” kompilasi tersebut.
Maruarar kemudian menitikberatkan penjelasannya pada rumusan kata “selat” yang digunakan untuk menyatakan batas daerah kabupaten Lingga. “Rumusan ‘selat’ untuk menyatakan batas daerah kabupaten yang berdampingan yang berada di wilayah perairan, merumuskan yang tidak jelas. Padahal ‘batas’ satu daerah kabupaten harus mampu menunjukkan dengan pasti yurisdiksi Pemerintahan Daerah yang mempunyai kewenangan menyelenggarakan pemerintahan daerah di wilayah tersebut,” jelas Maruarar.
Menurut Maruarar kejelasan rumusan “selat” menjadi penting karena hal itu berkaitan dengan praktik penggunaan wilayah perairan yang menyangkut wilayah perairan daerah lain atau wilayah perairan negara lain yang berbatasan. Dan dengan kaitannya dengan pemekaran Kabupaten Lingga yang membawa dampak terhadap wilayah di provinsi lain, Maruarar menyatakan bahwa ketegasan dan kepastian hukum yang menyangkut wilayah merupakan amanat undang-undang yang termuat dalam pembentukan wilayah baru. “Satu undang-undang dilampiri peta, harus pula dilampiri titik koordinat. In casu dalam UU pembentukan Kabupaten Lingga, peta yang diperintahkan menjadi lampiran undang-undang tersebut juga tidak dibuat, sehingga syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan pembentukannya sendiri telah menegasikan regulasi yang dibentuk dengan UU No. 31 Tahun 2003,” tegas Maruarar.
Kemudian Maruarar melihat kata “selat” sebagai satu terminologi yang sifatnya umum dan bukan merupakan kosa kata yang juridis. Karena hal itu, kata “selat” tidak dapat menunjukkan kejelasan batas wilayah yang pasti. Kalau kata “selat” tetap akan dimasukkan sebagai satu pengertian yang secara tegas ditujukan untuk batas wilayah Kabupaten Lingga di sebelah Selatan, maka dalam bagian “Ketentuan Umum” Undang-Undang Pembentukan Kabupaten Lingga, haruslah termuat satu rumusan pengertian “selat” yang ditujukan untuk menegaskan bahwa Pulau Berhala termasuk Kabupaten Lingga.
Mempertimbangkan kata “mengingat” dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2003, Maruarar mengkritisinya karena hanya mengkaitkannya dengan menyebut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2002 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau, tetapi tidak menyebut Undang-Undang Nomor 54 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Tebo, Kabupaten Muaro Jambi, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Sumatera Tengah, Provinsi Jambi, dan Provinsi Riau yang semuanya memiliki potensi persinggungan wilayah. “Berdasarkan uraian tersebut, kami berpendapat bahwa Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2003 Tentang Pembentukan Kabupaten Lingga melanggar tatacara dan prosedur Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menjadi derivasi norma konstitusi, sehingga dianggap bertentangan dengan UUD 1945,” jelas Maruarar. (Yusti Nurul Agustin/mh)