Perkara sengketa kewenangan lembaga negara (SKLN) yang diajukan oleh Presiden melalui Menteri Keuangan dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Pemohon) di Mahkamah Konstitusi, hari Selasa (8/5) memasuki sidang kedelapan. Pada sidang kali ini selain mendengarkan keterangan ahli/saksi, juga penyampaian closing statement (pernyataan penutup) dari masing-masing pihak yang berperkara.
Dalam pekara nomor 2/SKLN-X/2012 ini, Pemohon bersengketa dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan Badan Pemeriksa Keuangan, masing-masing bertindak sebagai Termohon I dan Termohon II. Persoalan yang diangkat adalah Pembelian 7% saham divestasi PT. Newmont Nusa Tenggara (PT. NNT) oleh Pemerintah.
Kesempatan awal diberikan Menteri Keuangan Agus D.W Martowardojo. Dalam closing statement-nya, ia mengatakan proses penyelesaian pembelian 7% saham divestasi PT NNT terdapat perbedaan pendapat antara Pemohon dengan Termohon I dan Termohon II. “Para Pemohon berpendapat bahwa Pemohon hanya dapat melakukan pembelian saham divestasi PT. NNT setelah mendapatkan persetujuan Termohon I terlebih dahulu,” ujar Menteri Keuangan RI tersebut.
Namun Pemohon menilai, lanjut Agus, dengan adanya pendapat Termohon I dan Termohon II tersebut, Pemohon menjadi terhambat dalam melaksanakan kewenangan konstitusionalnya dalam mendapatkan manfaat untuk kemakmuran rakyat Indonesia. “Apabila dalam pelaksanaan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) masih diperlukan persetujuan kembali oleh DPR, maka hal tersebut akan menyebabkan adanya persetujuan yang berlapis,” terangnya.
Disamping menanggapi terkait dengan terhambatnya pembelian saham jika harus meminta persetujuan, Pemohon dalam hal ini juga telah menilai bahwa Termohon II telah menafsirkan undang-undang, dan bukan melaksanakannya. “Dalam laporan pemeriksaan, BPK telah menafsirkan ketentuan Pasal 24 ayat (7) UU Keuangan Negara yang berarti BPK telah melampaui batas kewenangannya,” ungkapnya.
Pernyataan Pemohon tersebut dibantah langsung BPK melalui Ketua BPK Hadi Poernomo. Dalam closing statement-nya ia mengatakan bahwa Pemohon berpendapat BPK telah “salah menafsirkan” ketentuan Pasal 24 ayat (7) UU 17/2003. “Kami tegaskan bahwa BPK tidak menilai suatu kebijakan dan/atau menafsirkan peraturan perundangan-undangan, namun BPK hanya memeriksa dan menilai kepatuhan pemerintah terhadap pelaksanaan peraturan perundangan-undangan dalam proses pembelian saham PT NNT (tertutup),” jelas ketua BPK itu.
Sementara itu, menurutnya bahwa apabila kementerian keuangan yakin tidak memerlukan izin dari DPR dalam pembelian 7% saham PT NNT oleh PIP (Pusat Investasi Pemerintah), seharusnya pada saat diperiksa dapat mengajukan penolakan pemeriksaan. “Tetapi apabila menerima dan mengikuti semua prosedur pemeriksaan sampai dengan LHP (Laporan Hasil Pemeriksaan) diterbitkan, maka LHP BPK wajib ditindaklanjuti (final dan mengikat) sesuai Pasal 23E UUD 1945,” ungkap Hadi.
Dan terkahir terhadap pembelian saham 7% PT NNT oleh PIP, Hadi Poernomo kembali menegaskan bahwa BPK tidak pernah melarang pemerintah untuk membeli 7% saham PT NNT (Tertutup), “sepanjang dilakukan melalui prosedur dan koridor hukum/ketentuan yang berlaku,” terangnya.
DPR pun juga menguatkan pernyataan dari Termohon II. Dalam pandangan akhirnya, yang diwakili oleh Nusron Wahid dari Fraksi Golkar mengatakan, jika pemerintah tidak mengakui pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenang yang dilakukan oleh DPR dan BPK, itu merupakan hak pemerintah. Akan tetapi, menurutnya, konstitusi telah mengamanatkan bahwa hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK wajib dilaksanakan oleh lembaga negara yang dalam hal ini pemerintah. “Bukan dengan cara membawa persoalan ini ke Mahkamah Konstitusi,” terang Nusron.
Nusron juga menekankan bahwa hakekatnya hubungan antara pemerintah dan DPR adalah suatu hubungan kelembagaan politik (check and balances), sehingga apa dampaknya jika tidak terjadi kesepahaman atas keputusan politik antara pemerintah dan DPR dibawa pemerintah ke Mahkamah Konstitusi? “Hal ini akan menjadi problem besar dalam tata kelola pemerintahan dan mempunyai dampak buruk,” ujarnya.
Sebelumnya, didengarkan juga keterangan sejumlah ahli dari Pemohon Eddy Suratman, dan Ahli dari Termohon II Irman Putra Sidin, serta saksi Pemohon Arif Hidayat. Salah satu dari mereka Eddy Suratman mengatakan bahwa pembelian saham PT NNT dapat meningkatkan penerimaan negara dari dividen, pajak, dan royalty. Disamping itu, kata dia, pembelian ini juga lebih memastikan kepatuhan perusahaan untuk melaksanakan aturan. (Shohibul Umam/mh)