Beranjak dari tingkah laku partai politik yang tidak memberi manfaat bagi masyarakat sesuai dengan UUD 1945, melainkan hanya memberi manfaat atas dirinya sendiri, Pemohon yakni Moh. Tanwir Abdur Rahman datang ke Mahkamah Konstitusi untuk mengujikan Pasal 8 dan Pasal 13 ayat 1 UU No.42/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Dalam tuntutannnya, Pasal tersebut dianggap bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 27 Ayat 1, Pasal 28D Ayat 1, Pasal 28I Ayat 2.
Dalam ketentuan Pasal 8 UU tersebut, berbunyi “Calon Presiden dan calon Wakil Presiden diusulkan dalam 1 (satu) pasangan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik.” Sementara Pasal 13 ayat 1 berbunyi, “Bakal Pasangan Calon didaftarkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik.”
Pasal-pasal tersebut, diakui Pemohon No.38/PUU-X/2012 ini dianggap bertentangan dengan UUD 1945, karena tidak terdapat satupun pasal yang memberi peluang bagi jutaan potensi bangsa, lebih khususnya bagi Pemohon. “Norma itu memberi ketentuan diskriminatif bagi pengabdian bangsa, dan telah menimbulkan atau berpotensi menimbulkan kerugian bagi Pemohon,” ujarnya.
Pemohon juga menilai DPR dan Pemerintah tidak memiliki niat yang tulus mengelola negara ini sesuai dengan kaidah demokrasi. “Padahal kesedian pejabat atau penyelenggara negara merupakan kesediaan untuk tulus mempertaruhkan seluruh jiwa dan raga bagi bangsa dan negara,” tulisnya dalam permohonan.
Oleh karena itu, dalam provisi permohonannya, dia memohonkan supaya KPU untuk menerima pencalonan Pemohon/pasangan sebagai calon perseorangan untuk mengikuti tahapan pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2014, dan menyatakan pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya.
Tidak Mendesak
Seperti biasa, dalam persidangan pemeriksaan perkara, Majelis Hakim Konstitusi memberi nasehat kepada permohonan Pemohon. Nasehat pertama diberikan oleh Ketua Panel Muhammad Alim. Menurutnya, permohonan mengenai provisi seharusnya tidak dicantumkan dalam berkas permohonan karena pelaksanaanya masih pada tahun 2014. “Provisi diminta kalau suatu hal yang sifatnya mendesak,” terang Alim.
Pernah Diputus
Sementara Hakim Konstitusi Maria Farida mengatakan kepada Pemohon bahwa sesungguhnya yang perlu diperhatikan dalam permohonan Pemohon adalah permohonan ini pernah diujikan ke MK. “Permohonan ini pernah diujikan kesini, dan Mahkamah tidak boleh menguji kembali materi-materi yang pernah diputuskan,” ungkapnya.
Selain itu, kata Maria Farida, kalau ingin mengajukan uji materi ke MK yang paling penting adalah mengenai legal standing (kedudukan hukum). Menurutnya, Pemohon belum mencantumkan secara jelas latar belakangnya. “Dalam hal ini, belum dicantumkan secara jelas bapak itu siapa? Apa potensi bapak dan apa kerugian bapak dengan terbentuknya oleh pasal-pasal tersebut?” tanya Guru Besar Universitas Indonesia ini.
Hal senada juga disampaikan oleh Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi. Dalam nasehatnya ia mengatakan bahwa pasal yang ingin diujikan oleh pemohon sudah pernah diputus oleh MK. “Pasal yang sudah pernah diputus tidak bisa diajukan lagi oleh siapapun, kecuali punya alasan yang berbeda dan sangat menentukan,” tutur Fadlil Sumadi.
Setelah Majelis Hakim Konstitusi memberi nasehat, Pemohon diminta untuk memperbaiki permohonannya selama waktu 14 hari. “Pokoknya jangan sampai lewat 14 hari, kalau lewat tidak diterima. Jadi hanya menilai yang sudah ada,” pesan ketua panel persidangan. (Shohibul Umam/mh)