Sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan terhadap UUD 1945 kembali digelar oleh Mahkamah Konstitusi pada Jumat (4/5), di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan dengan Nomor 35/PUU-X/2012 ini dimohonkan oleh Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Abdon Nababan (Pemohon I), Bustamir Khalifah Kuntu dari Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Kuntu (Pemohon II) serta Moch. Okri dari Kesatuan Masyarakat Adat Kesepuhan Cisitu (Pemohon III).
Pada sidang dengan agenda pemeriksaan perbaikan, Pemohon yang diwakili kuasa hukumnya menjelaskan telah melakukan perbaikan seusai dengan saran Hakim Konstitusi yang terdiri dari Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi (Ketua) dengan Wakil Ketua MK Achmad Sodiki dan Hakim Konstitusi Harjono sebagai Anggota. Menurut kuasa hukum Pemohon, pemohon telah menguraikan kedudukan hukum dan mengelompokkan hal-hal yang diuji.
”Legal standing kami uraikan dengan masukan dari Majelis kemarin. Hal yang diujikan mengelompokkan jadi dua, yaitu Pasal 6 ayat (1) UU Kehutanan menggunakan ‘frasa’ jadi ‘kata’ dan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) menyangkut dengan penetapan kawasan hutan. Yang kedua, menyangkut pengakuan masyarakat hukum adat Pasal 4 ayat (3), Pasal 5 ayat (3), Pasal 5 ayat (4), Pasal 67 ayat (1), Pasal 67 ayat (2) dan Pasal 67 ayat (3) UU Kehutanan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 18B, Pasal 28D serta Pasal 28I UUD 1945,” paparnya.
Ketua Majelis Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi dalam kesempatan itu mengesahkan sejumlah alat bukti yang diajukan oleh Pemohon. “Sidang ini akan kami lanjutkan dulu ke Rapat Permusyawaratan Hakim untuk diputuskan apakah akan dilanjutkan pada sidang pleno atau tidak,” ujarnya.
Dalam pokok permohonannya, para Pemohon mendalilkan Pasal 1 Angka 6 sepanjang frasa “negara”, Pasal 4 ayat (3) sepanjang frasa “dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional”, Pasal 5 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), Pasal 67 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan bertentangan dengan UUD 1945. Ketentuan pasal-pasal UU tersebut secara tegas telah menyebabkan perampasan dan penghancuran atas masyarakat hukum adat serta hak-haknya. Pemohon II mengajukan permohonan ini adalah keluarnya Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 137/KPTs-II/1997 tentang Izin Usaha Hutan Produksi dan Hutan Tanaman Industri untuk PT. Riau Andalan PULP dan Paper (PT. RAPP) seluas 280.500 hektar. Akibat kegiatan usaha tanaman industri PT. RAPP di wilayah komunitas masyarakat hukum adat Pemohon II menyebabkan Pemohon II kehilangan wilayah hutan adatnya yang merupakan bagian penting dari komunitas masyarakat hukum adat untuk mengembangkan diri dan keluarganya, mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidup dan kehidupannya.
Sementara Pemohon III berlasan adanya perluasan kawasan hutan cagar alam berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 174/Kpts-II/2003 mengenai perubahan nama dari kawasan hutan cagar alam berubah menjadi Kawasan Hutan Taman Nasional yang wilayahnya diperluas dari 40.000 ha menjadi 113.357 hektar. Hal ini menyebabkan seluruh wilayah adat masuk dalam kawasan taman nasional dan masyarakat hukum adat Pemohon III kehilangan akses dan hak untuk pemanfaatan dan pengelolaan kawasan adatnya, bahkan beberapa anggota kesatuan masyarakat hukum adat yang mengalami tindakan kriminalisasi karena masuk ke dalam Kawasan Hutan Taman Nasional Halimun Salak. (Lulu Anjarsari/mh)