Sidang perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Aceh Utara kembali digelar untuk keempat kalinya, Kamis (3/5). Dalam sidang kali ini seorang ahli dan para saksi yang dihadirkan Pemohon serta para saksi Terkait menyampaikan keterangannya di hadapan Panel Hakim Konstitusi di Ruang Sidang Pleno, Lantai 2, Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang ini merupakan sidang terakhir sebelum MK menggelar sidang pembacaan putusan untuk perkara yang teregistrasi dengan nomor 21/PHPU.D-X/2012.
Ahli Pemohon, Dian Puji Simatupang mendapat kesempatan di awal sidang untuk menyampaikan keterangan terkait pemenuhan syarat pendidikan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah seperti yang diatur pada UU Pemerintahan Daerah dan UU tentang Pemerintahan Aceh. Menurut Dian, sesuai Pasal 58 C UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa calon kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah Warga Negara Indonesia (WNI) yang memenuhi syarat berpendidikan sekurang-kurangnya sekolah lanjutan atas atau sederajat. Hal serupa juga dirumuskan dalam Pasal 67 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang menyatakan calon suatu kepala daerah harus memenuhi syarat sekurang-kurangnya berpendidikan sekolah lanjutan atas atau sederajat.
“Implikasi dari peraturan tersebut menurut hukum administrasi negara, yaitu calon kepala daerah dan wakil kepala daerah harus memiliki bukti otentik untuk pemenuhan syarat pendidikan dengan suatu dokumen yang dinamakan ijazah atau Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) atau surat keterangan setara dengan ijazah apabila ijazah dinyatakan hilang atau musnah,” jelas Dian.
Berdasarkan ketentuan tersebut, lanjut Dian, produk administratif yang menjadi dasar dari otentifikasi terhadap suatu surat ijazah adalah Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 59 Tahun 2008 tentang pengesahan fotokopi ijazah, STTB atau surat keterangan pengganti yang berpenghargaan sama dengan ijazah. Artinya, pemenuhan syarat yang dinyatakan sekurang-kurangnya sekolah lanjutan atas adalah dengan telah menempuh dan menyelesaikan sekolah lanjutan atas atau sederajat yang dibuktikan dengan izajah atau STTB.
Kemudian Dian menegaskan bahwa ketentuan pemenuhan syarat pendidikan bagi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah tersebut dapat terpenuhi jika para calon tidak hanya melampirkan fotocopinya saja, tapi juga menunjukkan bukti memiliki ijazah. Bukti yang dimaksud Dian yaitu berupa surat pernyataan resmi dan sah berlakunya ijazah secara nasional yang sekaligus menyatakan seorang peserta didik telah lulus sekolah dan lulus ujian sekolah.
“Peraturan Mendiknas No. 59 Tahun 2008 mengatur dapat dikeluarkannya surat keterangan pengganti yang sama dengan ijazah atau STTB bila terjadi force majeure atau musnah. Pemenuhan terjadi bila para calon kepala daerah dan wakil kepala daerah menunjukkan dan melampirkan fotokopi ijazah atau STTB yang telah dilegalisasi pejabat yang berwenang serta menunjukkan dan melampirkan ijazah aslinya atau keterangan pengganti yang sama dengan ijazah dan STTB,” papar Dian.
Hal-hal tersebut dimaksudkan untuk pemeriksaan kecermatan atas kemungkinan terjadinya keragu-raguan terhadap kemungkinan terjadinya pemalsuan tipuan ijazah. Keraguan tersebut pada hakekatnya dapat dibuktikan dengan otentifikasi atau legalisasi. Jika otentifikasi atau legalisasinya mengandung keragu-raguan maka menjadi kewenangan dinas pendidikan di lingkungan provinsi untuk melakukan pengecekan ulang. “Apabila kemudian, terjadi tipuan dan paksaan terhadap surat ijazah tersebut maka menjadi penting Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah untuk bekerja sama dengan kepolisian untuk melakukan pemeriksaan forensik. Pengesahan bukti dapat dilakukan oleh Kepsek tapi bila sekolah tersebut tidak beroperasi lagi maka pengesahan dapat dilakukan oleh Kepala Dinas Kabupaten Kota . Sedangkan kalau sekolah yang dimaksud merupakan sekolah Indonesia di luar negeri atau sekolah internasional di dalam negeri maka yang mengesahkan adalah kepala sekokah dan dirjen manajemen pendidikan dasar dan menengah,” tukas Dian.
Keterangan Para Saksi
Saksi Pemohon, Misbahul Munir yang merupakan seorang Calon Bupati Aceh Utara No. Urut 7 (calon perseorangan) bersaksi untuk kepentingan Pemohon. Munir menyampaikan bahwa telah terjadi kecurangan dan intimidasi dalam Pemilukada Aceh Utara yang pihaknya alami. “Saya mendapat teror berupa rumah saya dibom, dibakar, dan ditembak. Dibom pakai bom Molotov dan ditembaki-tembaki rumah saya kira-kira pada akhir Desember 2011, jam 4 pagi menggunakan senjata M16,” ujar Munir.
Munir kemudian menjelaskan bahwa sebelumnya ia adalah anggota Partai Aceh (PA). Namun, karena PA pada awalnya tidak ingin mengikuti Pemilukada maka Munir mencalonkan diri sebagai calon independen dan keluar dari PA. Karena itulah kemudian Munir dicap sebagai pengkhianat sehingga terjadilah aksi pemberondongan rumahnya dengan senjata api M16. “Pemilukada ini sudah menimbulkan trauma di masyarakat dan tim saya. Tim saya yang awalnya mendukung saya, jadi trauma karena di lapangan dikatakan kalau dukung saya nanti rumah kalian juga diberondong sehingga kerja tim saya tidak maksimal,” ungkap Munir yang juga pernah menjabat sebagai Anggota DPRD dari PA.
Sedangkan Barmawi, saksi Pihak Terkait yang juga menjabat sebagai sekretaris tim sukses pasangan No. Urut 10 menampik semua tuduhan Pihak Pemohon. “Sejauh mana tim sukses nomor 10 tidak pernah memerintahkan dan tidak pernah menyuruh untuk mendapatkan kemenangan melalui teror, pemukulan, intimidasi seperti yang dituduhkan Pemohon. Bahkan kami tidak pernah mendapat surat teguran yang menyatakan bahwa kader kami melakukan berbagai pelanggaran administrasi maupun tindak pidana pemilu oleh Panwaslu,” tegas Barmawi. (Yusti Nurul Agustin/mh)