Disela-sela kesibukannya, Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi menerima kunjungan dari Majalah ArRisalah, Rabu (2/5) di Ruang Kerjanya, lantai 14, Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Kedatangan mereka bermaksud menanyakan terkait UU Perkawinan Pasal 43 ayat (1) No. 1/1974 yang diputuskan oleh MK terkait hubungan keperdataan anak yang lahir di luar perkawinan.
Berawal dari pertanyaan dan tujuan mereka datang, Fadlil memulai menerangkan berkenaan dengan adanya putusan tersebut. Menurutnya, UU perkawinan dalam putusan yang dijatuhkan oleh MK, tidak pernah membahas ataupun menjatuhkan putusan boleh tidaknya orang melakukan perzinaan. Dikarenakan, kata Fadlil persoalan zina sudah jelas, tegas bahwa persoalan tersebut haram. Lebih dari itu, MK tidak pernah mempunyai pretensi untuk melegalkan atau menghalalkan zina.
“Bila perlu orang yang berzina andaikan harus dihukum, hukum saja,” ucap Doktor Universitas Diponegoro tersebut. “Putusan itu, fokus pada soal anak, bukan soal orang tuanya. Meskipun anak itu mempunyai kaitannya dengan orang tua,” tambah Fadlil.
Disamping itu, Fadlil juga menjelaskan padangan MK dengan menjatuhkan putusan tersebut. Menurutnya, putusan tersebut MK fokus membahas dan memutuskan menganai anak sebagai akibat dari suatu perkawinan yang tidak dicatat secara hukum. “Soal MK adalah soal pasal, yakni anak yang lahir diluar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan ibunya, dan keluarga ibunya,” terangnya.
Oleh sebab itu, dia mengatakan, perspektif MK dalam mengambil putusan tersebut diambil dengan pandangan alaminya. “MK berpendapat bahwa tidak ada anak yang lahir, tanpa ada bertemunya indung telur (sel telur) dengan sperma. Sehingga secara alaminya tidak ada anak tanpa punya bapak,” yakinnya.
Fadlil Sumadi juga menekankan bahwa putusan MK juga tidak pernah berbicara hak waris. Lembaga ini hanya berpendapat pada hubungan keperdataan. “Jangan bilang MK menentukan hak waris,” tegasnya.
Kemudian, MK juga berpandangan secara konstitusional setiap anak yang lahir berhak mendapatkan pendidikan, dan berhak tidak mendapatkan perlakuan diskriminatif. “Pertanyaannya siapa yang harus memenuhi hak dia? Karena hak itu sekedar omong kosong, kalau yang berkewajiban tidak memenuhinya,” jelas Fadlil.
Disisi lain, MK juga berpendapat bahwa setiap orang yang berani berbuat harus berani bertanggung jawab terhadap akibatnya. “Masalah ayahnya sah atau tidak itu masalah hukum, bukan masalah MK,” tandasnya.
Lebih jauh lagi, kata Fadlil Sumadi, masalah adanya kelahiran anak, sebenarnya bisa dilakukan dengan berbagai hal, bisa dilakukan secara legal ataupun tidak legal. “Namun jangan sampai meniadakan tanggung jawab laki-laki. Kok enak perempuannya saja yang bertanggung jawab,” jelas Fadlil.
Sementara menanggapi pertanyaan Majalah ArRisalah, tentang putusan tersebut menimbulkan perbedaan pendapat antara MK dengan Majelis Ulama Indonesia, sehingga diperlukah untuk melakukan mediasi. Terhadap hal tersebut, Fadlil mengatakan bahwa MK tidak pernah bersengketa dengan MUI. “Oleh karena itu, MK tidak perlu untuk melakukan mediasi, karena MK tidak pernah bersengketa,” terangnya. “Kalau MK tidak sama dengan MUI, hal demkian adalah hak setiap orang,” timpal Fadlil.
Disamping itu, Fadlil juga menjelaskan perbedaan pendapat sering muncul tidak terjadi pada putusan ini, tetapi banyak putusan lain. Disebabkan mereka tidak membaca secara keseluruhan putusan tersebut. Biasanya pertanyaan datang tanpa membaca terlebih dahulu pertimbangan putusan secara utuh, namun berdasar komentar-komentar atas putusan. “Seperti halnya dengan saudara datang kesini, tentu bukan tidak didasarkan dengan membaca, namun didasarkan dengan komentar-komentar mengenai putusan tersebut. Saya berkeyakinan anda belum membaca putusan itu,” yakinnya atas kecenderungan masyarakat.
Diakhir pembicaraan, Fadlil mengatakan bahwa dengan keputusan tersebut MK membuka momentum bagi agama untuk mengisi hak-hak keperdataan. Sementara MK sebagai lembaga negara juga telah menjalankan amanah untuk mengawal konstitusi. “Perkara orang tidak tahu, tidak faham, dan belum membaca. Itu semua proses,” ucapnya. (Shohibul Umam/mh)