Himpunan mahasiswa Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta mengunjungi Mahkamah Konstitusi (MK) dalam rangka study tour, Senin (30/4). Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi menyambut kehadiran dan sekaligus memberikan materi seputar MK yang diadakan di Ruang Konferensi Pers, Lantai 4, Gedung MK. Dalam penjelasannya, Fadlil menyampaikan mengenai lika-liku sejarah hadirnya MK dalam tatanan ketatanegaraan di Indonesia.
Fadlil yang memaparkan materi kepada para mahasiswa memulai penjelasannya dengan pertanyaan retoris tentang mengapa MK hadir saat ini, kenapa tidak dibentuk sejak awal kemerdekaan Indonesia saja. Menjawab pertanyaannya sendiri, Fadlil mengatakan, perdebatan tentang perlunya kehadiran MK sebenarnya sudah ditemui sejak awal penyusunan UUD 1945. Namun, realisasi pembentukan MK baru bisa dilaksanakan saat bergulirnya perubahan UUD 1945 pada tahun 2001.
Kemudian Fadlil menjelaskan latar belakang tentang perlunya perubahan UUD 1945 saat itu. Berawal pada dekade tahun 1990-an, di Indonesia terjadi dinamika sosial politik. Mula-mula dinamika sosial politik itu terjadi ketika adanya kriris keuangan negara yang melanda Indonesia. Tidak hanya Indonesia, Malaysia, Thailand, dan beberapa negara lain di Asia juga mengalami krisis yang sama. Hanya saja, negara lain dapat menyelesaikan krisis tersebut.
Sedangkan Indonesia, krisis keuangan itu justru mengular menjadi krisis di segala lini karena munculnya krisis kepercayaan kepada pemerintah. “Dengan keadaan yang sedemikian rupa saat itu, memaksa kekuasaan tertinggi pemerintah yaitu Presiden Soeharto saat itu mundur dari jabatannya. Tapi meski Presiden Soeharto sudah turun, tetan saja krisis tersebut tidak hilang. Saat itu BJ Habibie yang menggantikan Soeharto memutuskan untuk mempercepat pelaksanaan Pemilu,” jelas Fadlil.
Fadlil kemudian menjelaskan mengapa saat itu Indonesia mengalami krisis multidimensional. Krisis yang menggerogoti segala lini kehidupan bernegara dan berbangsa itu kemudian disadari bersama terjadi karena UUD 1945 saat itu terlalu simpel dan ambigu. Sehingga, siapa saja saat itu bisa menafsirkan UUD 1945 sesuai kepentingan masing-masing.
Selain itu, sistim pemerintahan yang dibangun terlalu berat ke presiden. Bahkan, MPR saja dapat dengan mudah dikuasai oleh orang-orang “utusan” presiden. Kemudian muncul gerakan untuk menciptakan pemerintahan yang berlandaskan hukum yang demokratis dan salah satu cara untuk mewujudkan hal itu adalah dengan mengubah UUD 1945.
Implikasi yang terjadi setelah perubahan UUD 1945, yaitu Indonesia menegaskan salah satu prinsip supremacy of law. Dalam prinsip tersebut konstitusi didapuk menjadi hukum tertinggi di Indonesia. Dengan begitu juga, lembaga negara di Indonesia tidak ada lagi yang posisinya lebih tinggi dibanding lembaga negaralainnya. “Saat ini dalam sistim ketatanegaraan kita yang tertinggi adalah hukum, bukan salah satu lembaga negara saja. Itulah mengapa disebut supremacy of law,” ujar Fadlil.
Kehadiran MK kemudian dibutuhkan untuk menegakkan konstitusi yang selama ini hanya ditegakkan lewat mekanisme politik. Padahal, lanjut Fadlil, mekanisme politik mendasarkan suara mayoritas untuk memutuskan suatu perkara dan kerap mengabaikan unsur keadilan. Contohnya, saat ini untuk “menggulingkan” presiden tidak bisa atas keputusan MPR saja. Saat ini menggulingkan presiden harus lewat jalur hukum di MK untuk melihat benarkah presiden telah melakukan suatu pelanggaran berat.
Sembari menyampaikan materi, Fadlil kerap kali menggunakan bahasa jawa sebagai “bahasa pengantar”. Hal itu dilakukan untuk menciptakan suasana santai dalam proses “transfer” ilmu tersebut. Fadlil pun kerap memberikan ide-ide segar untuk penulisan skripsi bagi para mahasiswa Ilmu Hukum Fak Syariah & Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. (Yusti Nurul Agustin/mh)