Seorang hakim dari Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang, Teguh Satya Bhakti mengajukan Pengujian Undang-Undang (PUU) No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dan Undang-Undang No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum terhadap UUD 1945. Sidang pertama untuk perkara yang teregistrasi dengan nomor 37/PUU-X/2012 digelar hari ini, Jumat (27/4). Dalam sidang yang beragendakan pemeriksaan perkara itu Pemohon meminta tafsir konstitusional terhadap pasal-pasal tersebut yang menjelaskan mengenai gaji pokok, tunjangan, dan hak-hak lain bagi para hakim.
Pasal-pasal yang diminta Pemohon untuk diuji, yaitu Pasal 25 ayat (6) UU 51/2009 tentang Perubahan Kedua UU 5/ 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, juncto Pasal 25 ayat (6) UU 49/ 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU 2/1986 tentang Peradilan Umum, juncto Pasal 24 ayat (6) UU 50/ 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU 7/ 1989 tentang Peradilan Agama.
Salah satu pasal yang diajukan untuk diuji oleh Pemohon, yaitu Pasal 24 ayat (6) UU 50/2009 tentang Perubahan Kedua atas UU 7/1989 tentang Peradilan Agama berbunyi, “Ketentuan lebih lanjut mengenai gaji pokok, tunjangan, dan hak-hak lainnya beserta jaminan keamanan bagi ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan diatur dengan peraturan perundang-undangan.”
Menurut Pemohon pasal-pasal yang diujikan tidak dapat menjamin para pemangku kekuasaan kehakiman, termasuk Pemohon, untuk dapat mewujudkan sikap independensi peradilan. “Jaminan atas kemandirian peradilan adalah hak sekaligus kewenangan konstitusional hakim. Bahwa hak dan kewenangan konstitusional Pemohon sebagai hakim Pengadilan Tata Usaha Negara untuk mendapatkan jaminan kemerdekaan dan kemandirian peradilan yang menentukan independensi hakim telah dirugikan dengan berlakunya Pasal 25 ayat (6) UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang berbunyi, ‘Ketentuan lebih lanjut mengenai gaji pokok, tunjangan, dan hak-hak lainnya, beserta jaminan keamanan bagi ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan diatur dengan peraturan perundang-undangan’,” jelas Teguh di hadapan panel hakim yang diketuai Akil Mochtar.
Masih dalam keterangannya, Teguh menyatakan bahwa ketentuan tersebut telah mengesampingkan hak-hak Pemohon sebagai pejabat negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman pada badan Peradilan Tata Usaha Negara. Kedudukan Pemohon sebagai hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara dan hakim pada badan peradilan lain, peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung (MA) adalah sebagai pegawai negeri yang diangkat menjadi pejabat negara tertentu.
Sebagai pegawai negeri, Pemohon memiliki hak mendapatkan gaji pokok dan tunjangan sebagai hakim. Sedangkan sebagai pejabat negara, Pemohon memiliki hak-hak lain sesuai jabatannya sebagai hakim pada Badan Peradilan Tata Usaha Negara. Bahwa terkait dengan pengaturan mengenai hak-hak Pemohon
Hak Pemohon sebagai hakim di PTUN menurut Pemohon telah diatur pada Pasal 25 ayat (2) UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Ayat (2) Pasal tersebut berbunyi, “Selain mempunyai kedudukan protokoler, hakim pengadilan berhak memperoleh gaji pokok, tunjangan, biaya dinas, pensiun, dan hak-hak lainnya.” Masih di dalam pasal yang sama, di ayat selanjutnya dinyatakan hak lainnya berupa, tunjangan jabatan, rumah jabatan, jaminan kesehatan, dan sarana transportasi.
Hak-hak tersebut menurut Pemohon memang secara normatif sudah diatur dalam ketentuan pasal-pasal yang disebutkan Pemohon. Namun, secara empiris menurut Pemohon semua ketentuan itu belum dilaksanakan akibat adanya ketidakjelasan rumusan pasal a quo sepanjang frasa “diatur dengan peraturan perundang-undangan”.
“Ketidakjelasan penyebutan jenis peraturan apa yang akan mengatur lebih lanjut hak-hak Pemohon tersebut telah menimbulkan berbagai interpretasi dalam pelaksanaannya. Apakah frasa ‘diatur dengan peraturan perundang-undangan’ yang dimaksud dalam Pasal 25 ayat (6) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 itu adalah peraturan pemerintah atau peraturan presiden. Ketidakjelasan ini mengakibatkan tidak dapat dilaksanakannya hak-hak Pemohon tersebut. Hal demikian telah mengurangi hak konstitusional Pemohon untuk dapat menjalankan tugas dan kewajiban memeriksa, mengadili, dan memutus perkara, serta menjaga kemerdekaan dan independensi peradilan,” urai Teguh yang tidak didampingi satu kuasa hukum pun. (Yusti Nurul Agustin/mh)