Menyatakan alat berat dan alat besar sebagai kendaraan bermotor rupanya menjadi persoalan tersendiri bagi pengusaha di bidang alat berat. Menurut para pengusaha tersebut, ketentuan ini telah merugikan hak konstitusional mereka. Khususnya terkait pembebanan pajak atas kepemilikan alat berat dan alat besar yang dianggap sebagai kendaraan bermotor.
Akhirnya, mereka pun mengajukan uji materi atas Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ke Mahkamah Konstitusi. Perkara ini diregistrasi dengan nomor perkara 1/PUU-X/2012. Menurut para Pemohon, alat berat dan alat besar bukanlah kendaraan bermotor. Dalam hal ini Pemohon menguji Pasal 1 angka 13, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (4), dan Pasal 12 ayat (2).
Untuk memperkuat dalil-dalil permohonannya, Pemohon pun menghadirkan tiga ahli dan tiga saksi ke hadapan Majelis Hakim Konstitusi, Kamis (26/4) di ruang sidang Pleno MK. Sedangkan Pemerintah, pada kesempatan yang sama telah menghadirkan tiga ahli.
Hadir sebagai saksi dari Pemohon: Sjahrial Ong, Kartono, dan Tjatur Waskito Putro. Sedangkan sebagai ahli Pemohon: Pratjojo Dewo, Darussalam, Maruarar Siahaan, dan Tjahyono Imawan. Adapun ahli Pemerintah, hadir: Gunadi, Abdul Halim, dan Zen Zanibar MZ.
Dalam kesaksiannya, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pengelolaan Alat Berat/Alat Konstruksi Indonesia (APPAKSI) Sjahrial Ong, berpendapat, memasukkan alat berat sebagai kendaraan bermotor adalah tidak tepat. “Mengaburkan jenis alat berat dan konstruksi,” katanya.
Akibat lainnya, kata dia, dengan ketentuan tersebut beberapa pemerintah daerah akhirnya membuat peraturan daerah yang membebankan pajak untuk alat berat, karena dianggap sebagai kendaraan bermotor. “(Padahal), alat berat tidak melintasi jalan umum,” tegasnya. Menurutnya, alat berat telah dikenai bea masuk, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Penghasilan (PPh).
Selain itu, efek negatifnya adalah menimbulkan distorsi untuk kegiatan pertambangan di daerah. “Karena menimbulkan high cost economy,” jelasnya.
Pratjojo Dewo, yang menjabat sebagai Ketua Asosiasi Industri Alat Besar Indonesia, membenarkan hal itu. Menurutnya, berdasarkan kepada standar otomotif internasional, alat berat tidak tergolong dalam kendaraan bermotor. “Ini adalah kelompok mesin, bukan kendaraan,” ujarnya.
Menurut dia, alat berat sudah tentu berpindah-pindah tempat sesuai kebutuhan, namun alat berat tersebut diangkut dengan menggunakan truk trailer khusus yang dapat mengurangi beban terhadap jalan yang dilaluinya. Bahkan untuk kondisi tertentu alat berat bisa “dipreteli” terlebih dahulu untuk memudahkan pengangkutan.
Ahli Pemohon lainnya, Darussalam, menggunakan tiga alat uji dalam menguji konstitusionalitas pasal yang diuji oleh Pemohon. Tiga alat ujinya adalah Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang dilandasi oleh Pasal 22A UUD 1945, dan asas pemungutan pajak.
Menurutnya, ketentuan yang diuji oleh Pemohon tidak memenuhi asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang telah ditentukan. “Tidak ada asas kejelasan tujuan disini,” tuturnya. Pasalnya, kata dia, pada dasarnya pengenaan pajak kendaraan bermotor itu ditujukan untuk membangun dan merawat jalan umum, mengurangi kemacetan, dan membatasi polusi. Padahal faktanya, alat berat dan alat besar tidak menggunakan jalan umum. “Menggunakan jalan sendiri yang dibuat oleh pengusaha pertambangan,” paparnya.
Di samping itu, pada prinsipnya pembayar pajak mendapatkan manfaat dari pajak yang dia bayarkan. Sedangkan dalam kasus ini, pengusaha alat berat tidak menggunakan (baca: memanfaatkan) jalan umum yang dibiayai dari pajak yang dia bayarkan. Sehingga dia berkesimpulan pembebanan pajak atas alat berat adalah tidak dapat dibenarkan. “Jika dikaitkan, tampaknya tidak sesuai,” imbuhnya.
Adapun ahli Pemerintah, pada pokoknya menyatakan bahwa menganggap alat berat dan alat besar sebagai kendaraan umum adalah konstitusional. Menurut Zen Zanibar, jika ada perda yang dibuat oleh pemda untuk melakukan pemungutan pajak dengan berdasarkan kepada peraturan perundang-undangan yang ada adalah hal yang dapat dibenarkan secara hukum. “Desentralisasi memungkinkan terjadinya hal itu,” ucapnya.
Bahkan, dengan adanya kewenangan untuk mengatur keuangan sendiri yang dimiliki oleh pemda tersebut, menurut Abdul Halim, telah mencerdaskan pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerahnya masing-masing.
Ahli Pemerintah lainnya, Gunadi, menambahkan, bahwa pembentukan UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sudah sah dan valid secara hukum. Sebab, proses pembentukan UU ini telah menempuh prosedur yang ditentukan. “Semuanya sudah disetujui dalam rapat resmi oleh lembaga yang berwenang,” tegasnya. (Dodi/mh)