(Foto:dok/ist)Rakyat Indonesia belum siap berdemokrasi. Akhirnya hampir semua pilkada berujung ke MK.Waktu telah beranjak dari pukul 20.00 WIB. Namun, ratusan orang tetap menunggu di depan ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK) dan lobi depan gedung MK, di Jalan Merdeka Barat, Jakarta. Ratusan orang itu menunggu sejak pagi tatkala majelis hakim mulai “mengadili suara”. Suara itu pernah mereka berikan saat pelaksanaan pemilu kepala daerah (pilkada) Wali Kota dan Wakil Wali Kota Sorong, Papua Barat, Kamis, 22 Maret lalu.
Mereka adalah pendukung dan tim sukses dua pasangan calon. Pilkada itu diikuti lima pasangan calon. Mereka yang tengah menjalani sidang di dalam ruang sidang itu tidak terima atas kemenangan pasangan Lamberth Jitmau-Pahimah Iskandar. Para penggugat percaya ada kecurangan yang dilakukan pihak pemenang.
Karena itu, mereka berharap MK dapat memenangkan gugatnya, kemudian memutuskan pemungutan suara ulang (PSU). Dengan begitu, kemenangan diharapkan akan berpindah kepadanya. Dengan wewenang yang dimiliki, hakim-hakim MK memang dipusingkan dengan para pencari keadilan dalam sengketa pilkada. Mayoritas pelaksanaan pilkada yang dilakukan pada 2011 berujung konflik dan gugatan di MK. Berdasarkan laporan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dari 87 pilkada, 78 di antaranya digugat ke MK dengan 132 perkara teregistrasi.
Yang terbaru adalah gugatan pilkada yangg diselenggarakan di Provinsi Aceh, Senin (9/4). Hingga Jumat (20/4) MK menerima 11 gugatan dari pasangan calon yang bertarung di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Meski demikian, MK dengan segala kebijaksanaan hakimnya tidak serta merta menerima gugatan semua pencari keadilan. Tidak semua sengketa pilkada diputus PSU oleh MK.
Dari hasil persidangannya, MK percaya kecurangan, dan intimidasi memang kerap dilakukan pihak pemenang pilkada yang berkedudukan sebagai tergugat. Tapi, PSU diyakini tidak melulu menjadi solusi atas sengketa itu.
Sebagai contoh, sengketa pilkada Gubernur Banten November 2011. Pasangan pemenang yang kini jadi pemimpin pemerintahan Banten Ratu Atut-Rano Karno dinilai lawan politiknya melakukan kecurangan hingga dapat memenangkan suara rakyat. Terhadap dalil-dalil kecurangan yang diajukan penggugat, hakim yakin tindakan politik uang dan keberpihakan aparat pemerintahan memang terjadi dan menguntungkan masing-masing pihak, baik para pihak penggugat maupun pasangan terpilih.
Majelis hakim juga tidak membantah adanya intimidasi, perusakan, dan kekerasan dalam penyelenggaraan pilkada. Tetapi, pelanggaran tersebut tidak berpengaruh signifikan terhadap hasil perolehan suara masing-masing pasangan calon. Bukan hanya itu, Mahkamah menilai, jika memang PSU dilakukan, tidak akan ada perbedaan pemenang.
Ditangani MA
Data MK menyebutkan sepanjang 2008 hingga 21 April 2012 ada 435 gugatan. Dari 403 perkara yang sudah diputus, hanya 44 perkara yang diterima dan diputuskan dilakukan PSU. Sebanyak 267 perkara diputuskan ditolak MK, sedangkan 84 gugatan tidak diterima dan delapan perkara ditarik kembali.
Sengketa hasil penghitungan suara pilkada sebelumnya ditangani Mahkamah Agung (MA). Dalam UU No 32/2004 dinyatakan, keberatan terhadap penetapan hasil pilkada diajukan pasangan calon ke MA dalam waktu paling lambat tiga hari setelah penetapan hasil. Keberatan tersebut hanya berkenaan dengan hasil penghitungan suara yang memengaruhi terpilihnya pasangan calon.
Namun, sengketa pilkada kemudian berpindah ke MK sejak 2008. Melalui UU No 12/2008 Pasal 236 (C) ditegaskan “Penyelesaian sengketa hasil pemilihan kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 bulan sejak undang-undang ini diundangkan.” Oleh karena itu, pada 29 Oktober 2008, Ketua MA dan Ketua MK bersama-sama telah menandatangani Berita Acara Pengalihan Wewenang Mengadili.
Tidak Mau Kalah
Ketua MK Mahfud MD mengatakan, munculnya sengketa pilkada tersebut karena sebagian besar peserta demokrasi tidak mau menerima kekalahan. “Kami menilai mereka yang ikut dalam pesta demokrasi tingkat daerah itu tidak paham dan tidak siap dengan kekalahan,” katanya.
Hal senada diungkapkan Direktur Jenderal (Dirjen) Otonomi Daerah Kemendagri Djohermansyah Djohan. Menurutnya, 90 persen pilkada yang diselenggarakan di Indonesia berujung di MK. Hanya sedikit pasangan calon yang mampu legowo menerima kekalahannya dalam pilkada. “Prinsip mereka (peserta pilkada) berjuang sampai titik darah penghabisan,” ujarnya.
Birokrat yang akrab disapa Djo itu menilai, kegagalan pilkada langsung disebabkan ketidakselarasan demokrasi dengan kemajuan bangsa Indonesia. Rakyat Indonesia belum sepenuhnya siap berdemokrasi. “Ada persoalan dengan demokrasi kita memang. Pengaturan demokrasi kita terlalu maju dibanding dengan kondisi masyarakat. Demokrasi yang sehat itu demokrasi yang aturannya selaras dengan kemajuan masyarakat,” katanya.
Untuk itu, ungkapnya, tensi demokrasi perlu diturunkan sejenak. Dalam hal ini, pemilihan gubernur akan dikembalikan kepada DPRD. Kepala daerah tidak lagi dipilih berpasangan. Gubernur dipilih tunggal dan wakilnya akan ditunjuk gubernur. “Kalau ke depan sudah sehat lagi, pendidikan sudah maju, ekonomi sudah baik, mungkin bisa ke arah sana (pilkada langsung),” katanya.