UUD 1945 sebelum terjadi amandemen pada 1999-2002 memiliki banyak kelemahan. Di antaranya, tidak mampu menyelesaikan kalau terjadi despute atau sengketa antara lembaga negara. Selain itu, memberikan kekuatan terlalu besar kepada eksekutif dalam menjalankan roda pemerintahan.
“Walaupun sekarang juga, peran eksekutif masih besar. Karena memang sistem presidensial memberikan kekuasaan yang besar kepada Presiden selaku Kepala Negara maupun Kepala Pemerintahan dalam menjalankan kewenangan pemerintahan,” jelas Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar saat memberi ‘kuliah singkat’ kepada para mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Riau yang berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (23/4) pagi.
Kelemahan lainnya pada UUD 1945 sebelum terjadi amandemen, ungkap Akil, mengenai tafsir terhadap masa jabatan presiden yang menyebutkan “Presiden dapat dipilih kembali”. Pengertian “Presiden dapat dipilih kembali” ditafsirkan ‘menjadi berkali-kali’. Tak heran, masa jabatan Presiden Soeharto di zaman orde baru bisa berlangsung hingga 32 tahun. “Pak Harto bisa menjadi Presiden berkali-kali,” kata Akil yang didampingi moderator Mukhlis R. SH sebagai Dosen Pembimbing FH Universitas Riau.
Namun, dalam UUD 1945 saat ini dijelaskan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dapat dipilih secara langsung dalam satu Pemilu. Berbeda dengan dahulu, bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
“Dengan model dan cara seperti itu, maka mekanisme checks and balances untuk menjaga keseimbangan antara lembaga negara, dapat tertata dengan baik. Kenapa? Karena lembaga-lembaga negara dan wewenang-wewenang lembaga negara disebutkan dalam UUD. Misalnya, apa wewenang Presiden, bagaimana prosedur memilih Presiden, siapa yang boleh menjadi Calon Presiden, semuanya ada dalam UUD,” urai Akil panjang lebar.
Lebih lanjut Akil memaparkan, dalam perspektif yang bersifat horisontal terdapat gagasan demokrasi berdasarkan atas hukum (constitutional democracy) yang mengandung empat prinsip pokok yaitu adanya jaminan persamaan dan kesetaraan dalam kehidupan bersama; pengakuan dan penghormatan terhadap perbedaan dan pluralitas; adanya aturan yang mengikat dan dijadikan sumber rujukan bersama; adanya mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan mekanisme aturan yang ditaati bersama.
Keempat prinsip pokok yang telah disebutkan tadi, lazimnya dilembagakan dengan menambahkan prinsip-prinsip negara hukum (nomokrasi) yaitu pengakuan dan penghormatan terhadap HAM; pembatasan kekuasaan melalui mekanisme pemisahan dan pembagian kekuasaan disertai mekanisme penyelesaian sengketa ketatanegaraan antara lembaga negara, baik secara vertikal maupun horisontal.
Prinsip-prinsip negara hukum lainnya, adanya peradilan bersifat independen dan tidak memihak dengan kewibawaan putusan tertinggi atas dasar keadilan dan kebenaran; dibentuknya lembaga peradilan khusus menjamin keadilan bagi warga negara yang dirugikan akibat putusan atau kebijakan pemerintahan (pejabat administrasi negara); adanya mekanisme judicial review oleh lembaga peradilan terhadap norma-norma ketentuan legislatif, baik yang ditetapkan oleh lembaga legislatif maupun lembaga eksekutif; dibuatnya konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang mengatur jaminan-jaminan pelaksanaan prinsip-prinsip tersebut; serta pengakuan terhadap asas legalitas atau due process of law dalam keseluruhan sistem penyelenggaraan negara. (Nano Tresna Arfana/mh)