Mahkamah Konstitusi (MK) menyidangkan perkara Pengujian Undang-Undang (PUU) No. 35/PUU-X/2012, yaitu perkara Pengujian UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan untuk pertama kalinya di Ruang Sidang Pleno Gedung MK, Jumat (20/4). Pemohon perkara ini, yaitu Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Kuntu, dan Kesatuan Masyarakat Adat Kesepuhan Cisitu.
Sidang yang beragendakan pemeriksaan pendahuluan terhadap perkara yang dimohonkan Pemohon itu dipimpin oleh Ahmad Fadlil Sumadi selaku ketua panel hakim dan didampingi Achmad Sodiki serta Harjono selaku anggota panel hakim. Membuka sidang, Fadlil meminta Pemohon untuk memperkenalkan diri siapa saja yang hadir dalam persidangan kali ini.
Kuasa Hukum Pemohon, Iki Dulagin memperkenalkan pihaknya yang hadir kali ini, yaitu Abdul Haris, Sulistiono, dan Andi Muttaqien serta Iki Dulagin sendiri yang kesemuanya merupakan kuasa hukum Pemohon.
Usai mengenalkan pihaknya yang hadir dalam persidangan kali ini, Dulagin kemudian menyampaikan ringkasan permohonan Pemohon. Pertama-tama, Dulaqin menjelaskan bahwa Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Kuntu sebagai salah satu Pemohon berasal dari Kabupaten Kampar, Provinsi Riau yang diwakili Bustamir (Pemohon 2). Sedangkan Kesatuan Masyarakat Kasepuhan Cisitu yang diwakili Moch. Okri berasal dari Kabupaten Lebak, Provinsi Banten (Pemohon 3).
Selanjutnya Dulagin menyampaikan pokok permohonan Pemohon yang memasalahkan Pasal 3 UU Kehutanan. Menurut Dulagin Pasal 3 UU Kehutanan itu memerintahkan bahwa penyelenggaraan kehutanan bertujuan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan. Namun dalam kenyataannya, terutama yang dialami Para Pemohon, selama lebih dari sepuluh tahun berlakunya undang-undang itu telah dijadikan alat oleh negara untuk mengambil alih hak kesatuan masyarakat hukum adat atas wilayah hutan adatnya.
“Wilayah hutan adat kemudian dijadikan sebagai hutan negara yang selanjutnya justru atas nama negara dijual, diberikan atau diserahkan kepada pemilik modal untuk dieksploitasi dengan tanpa memperhatikan hak serta kearifan lokal kesatuan masyarakat hukum adat di wilayah tersebut. Hal ini menyebabkan terjadinya konflik antara kesatuan masyarakat hukum adat tersebut dengan pengelolah hutan adat mereka yang baru,” papar Dulagin.
Seringkali, konflik yang timbul antara masyarakat hukum adat dengan pengelola hutan yang baru membuat masyarakat adat yang masuk ke kawasan hutan tersebut dianggap pelaku kriminal. Menurut Pemohon, konflik yang timbul dan kemudian merugikan Pihak Pemohon merupakan tanda UU Kehutanan memiliki cara pandang yang tidak tepat terhadap kesatuan masyarakat hukum adat atas kawasan hutan.
Terhadap permohonan Pemohon, Fadlil menganggap Pemohon belum jelas mau memohonkan pasal berapa yang mau diuji. Pemohon sejak awal hanya menyebutkan beberapa pasal tanpa menegaskan pasal mana yang mau diujikan dan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
Sedangkan Sodiki mempertanyakan apakah benar masalah yang dipaparkan Pemohon bermula dari ketidakjelasan UU Kehutanan atau ketidakjelasan kriteria wilayah hukum adat sendiri. “Jadi kalau itu memang batasnya enggak jelas lalu juga akan sulit dipertahankan bahwa itu wilayah hukum adat, ya toh? Padahal Saudara bisa melihat di dalam Undang-Undang Perkebunan, Undang-Undang Kehutanan, bahkan di dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 599 ada rambu-rambu apa yang dinamakan dengan wilayah hukum adat atau hak ulayat itu. Saudara bisa melihat di sana apa syarat-syaratnya sebagai suatu wilayah hukum adat dan itu harus menunjukan adanya suatu kesatuan hukum yang mempunyai organisasi tersendiri,” urai Sodiki.
Sedangkan Harjono menitikberatkan pada legal standing Para Pemohon. “Kalau saya lihat di sini Pemohon ada dari LSM dan ada dari beberapa masyarakat hukum adat. Lalu kemudian, kalau yang dibela LSM itu adalah masyarakat hukum adat, maka kaitkan. Kenapa LSM ini berkaitan dengan masyarakat hukum adat? Apakah memang yang bergerak di dalam persoalan advokasi masyarakat hukum adat? Kalau kemudian masyarakat hukum adatnya, buktikan bahwa Anda adalah masyarakat hukum adat yang eksis,” tukas Harjono menyarankan. (Yusti Nurul Agustin/mh)