Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Moh. Mahfud MD mengatakan bahwa dalam berpolitik para mubalig seharusnya melakukan high politic yang dimana arah pembicaraannya tentang keadilan. “Politik apa saja, mereka tetap akan setuju,” ucap Mahfud saat menerima puluhan Mubaligh Indonesia di kediamannya Jl. Kompleks Widya Chandra, Jakarta, Rabu (18/4).
Dalam kesempatan itu, hadir Mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan Tuti Alawiyah, Wakil Menteri Agama Nazaruddin Umar, Hidayat Nur Wahid, dan KH. Nur Muhammad Iskandar (penggagas pertemuan tersebut). Mubaligh yang lain, diantaranya KH. Abdullah Gimnastiar (A’a Gim), Ustaz Yusuf Mansur, Habib Al-Habsyi, Ustad Ahmad Ikhsan (Ustad Cepot), serta mubalig-mubalig pada tingkatan nasional juga memadati rumah Ketua MK itu.
Lebih lanjut, Mahfud mengatakan, para mubaligh yang mempunyai berbagai karakter dan model menarik dalam menyiarkan dakwahnya tersebut perlu misinya untuk disatukan. “Supaya ke depan hal tersebut bisa bermanfaat bagi masyarakat. Karena itu pertemuan ini diadakan,” tutur Mahfud mengawali sambutannya selaku tuan rumah.
Kemudian, Mahfud juga menghimbau, ke depan para mubalig tidak sampai masuk ke rana politik praktis. Karena politik ini ada yang suka dan ada yang tidak suka. “Jadi yang umum saja yah,” pesannya. “Kalau begitu pastinya kita bisa berhimpun dengan baik,” tambahnya.
Hal demikian tersebut, kata Mahfud, bangsa Indonesia memerlukan pencerahan dengan sungguh-sungguh, untuk menjaga dan memelihara ke-Indonesiaan di negara ini. Disebabkan bangsa Indonesia sedang terancam egoisanisme. “Orang sudah semaunya sendiri dan korupsi sesukanya. Dan hal itu harus disadarkan,” jelas Mantan Menteri Pertahanan era Gus Dur itu.
Semua itu bisa dilakukan secara efektif oleh pejabat, sambung Mahfud, kalau kita tidak mempunyai keperpihakan politik. “Sehingga kita dalam posisi netral. Meskipun sesudah itu, kita mempunyai pilihan politik sendiri,” imbuhnya.
Di samping berbicara nasib bangsa Indonesia, Mahfud juga berbicara tentang Islam dan Indonesia. Menurutnya, sesungguhnya masyarakat Indonesia ingin meng-Indonesia-kan Islam, bukan meng-Islam-kan Indonesia. Dan itu dua hal yang berbeda.
Sedangkan hal demikian sama dengan Ukhuwah Islaminyah tidak bisa dikatakan dengan persaudaraan antarorang muslim, tetapi Ukhuwah Bainal Muslimin. Namun Ukhuwah Islaminyah adalah persaudaraan antarumat islam yang mempunyai watak islam, mempunyai persatuan, dan mempunyai toleransi. “Dan itu yang disebut Islamiyah,” ucapnya.
Penggagas yang lain adalah Nazarudin Umar. Dalam sambutannya dia mengatakan bahwa teman-teman mubalig jangan berpikir negara akan mengkooptasi teman-teman mubalig yang ada di media. “Semua sama sekali tidak ada kaitannya dengan negara,” ucapnya.
Hal lain, dengan diadakan kegiatan ini adalah, Nazarudin Umar melanjutkan, untuk mendorong dan memikirkan tentang keprihatinan dia terhadap nasib mubalig. Menurutnya, mengapa mubalig di televisi hanya diberi bayaran Rp.1 juta, tetapi penyanyi dangdut bisa mendapatkan bayaran Rp. 50 juta?
“Oleh karena itu, saya mencoba menggagas pertemuan langsung ke owner-nya (pemilik) stasiun televisi untuk mengawal suara hati teman-teman kita,” tutur Wakil Menteri Agama itu.
Setelah itu, para mubalig diberi kesempatan untuk memberikan suara hati atau bertukar pikiran tentang kondisi yang dialami mereka. Dengan antusiasnya mereka satu persatu mendapatkan giliran untuk memberikan komentar. Salah satunya adalah Habib Al-Habsyi. Dia mengusulkan kepada pemerintah untuk membuatkan Asuransi Kesehatan (Askes) bagi para mubalig di Indonesia. (Shohibul Umam/mh)