Sidang kedua perkara No. 27/PUU-X/2012, yaitu perkara Pengujian Undang-Undang No. 1 Tahun 1961 tentang Penetapan Perpu No. 16 Tahun 1960 tentang Beberapa Perubahan dalam KUHP menjadi undang-undang digelar hari ini, Kamis (19/4). Sidang yang dipimpin Ketua Penal Hakim Maria Farida Indrati didampingi Harjono dan Muhammad Alim kali ini beragendakan perbaikan permohonan oleh Pemohon.
Sidang yang bertempat di ruang sidang pleno, lantai 2, Gedung MK itu dihadiri Pemohon, yaitu Syarial (dari Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Peradilan Pidana) yang didampingi kuasa hukum Diyah Stiawati, Adiani Viviana, Supriyadi Widodo Eddyono, dan Diyan.
Mewakili pihaknya, Supriyadi menyampaikan bahwa pihaknya telah melakukan perbaikan permohonan. Perbaikan terletak pada judul pengujian yang diubah menjadi permohonan Pengujian terhadap Pasal 1 Undang-Undang Nomor 16 Perpu Tahun 1960 tentang Beberapa Perubahan dalam KUHP berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961.
“Jadi judulnya kami ubah. Yang kedua, mengenai legal standing juga kami ubah. Berdasarkan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, kami mendalilkan bahwa dengan adanya Undang-Undang Nomor 16 Prp Tahun 1960 Pemohon memiliki potensi untuk dilanggar hak konstitusionalnya dengan cara langsung maupun tidak langsung yang merugikan usaha untuk memberikan perlindungan, pemajuan, dan penggunaan hak asasi manusia dan perlindungan kebebasan sipil dan politik,” ujar Supriyadi.
Perubahan lain terjadi pada batu uji yang digunakan Pemohon untuk menguji UU tersebut. Bila awalnya Pemohon menggunakan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sekarang Pemohon menggunakan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 saja sebagai batu uji. “Ada prinsip kemanfaatan yang dilanggar dengan adanya undang-undang a quo. Oleh karena itu, kami hanya mendalilkan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 saja yang dijadikan batu uji,” jelas Supriyadi.
Pada sidang sebelumnya, Pemohon menyampaikan pihaknya pada pokoknya mempermasalahkan ketentuan hukuman denda bagi pelaku tindak pidana ringan yang tidak mengikuti perkembangan zaman. Pada Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1961 tentang Penetapan Perpu No. 16 tahun 1960 tentang Beberapa Perubahan dalam KUHP menjadi Undang-Undang terdapat frasa "vijf en twintig gulden" dan frasa itu kemudian diubah dalam Pasal 364, 373 379, 384 dan 407 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menjadi "dua ratus lima puluh rupiah".
Frasa tersebut terkait dengan perbuatan pencurian, penggelapan ringan, penipuan ringan, dan penerima konosemen. Kesemua tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda sebanyak dua puluh lima rupiah. Ketentuan denda itu pada tahun 1960 dengan adanya Pasal 1 Perpu tersebut diubah menjadi dua ratus lima puluh rupiah. Menurut Mahkamah Agung melalui Perma Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tidak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP pada tanggal 27 Februari 2012, dalam Pasal 1 Perma Nomor 2 Tahun 2012 disebutkan bahwa frasa “dua ratus lima puluh” dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407, dan Pasal 482 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dibaca menjadi dua juta lima ratus ribu rupiah.
Menurut Pemohon pada sidang pertama, denda dua juta lima ratus ribu rupiah tersebut tidak layak untuk menggantikan denda sebanyak dua ratus lima puluh rupiah yang diatur sebelumnya. “Menurut fakta sosiologis keberadaan Pasal 1 Perpu No. 16 Tahun 1960 sudah tidak lagi memberikan perlindungan dan menjadi persoalan yang serius untuk tindak pidana ringan. Jumlah tahanan bertambah banyak karena perkara-perkata tindak pidana ringan yang seharusnya dapat diadili dengan ketentuan acara cepat menjadi diadili dan diproses dengan menggunakan ketentuan acara pidana yang biasa,” tegas Kuasa Hukum Pemohon, Wahyudi Jafar. (Yusti Nurul Agustin/mh)