Sebanyak 200 mahasiswa IAIN Walisongo Semarang berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (18/4) pagi. Kedatangan mereka diterima oleh Peneliti MK Abdul Goffar di Aula MK, yang berlanjut dengan ‘kuliah singkat’ seputar MK maupun hal-hal terkait lainnya mengenai fungsi, wewenang MK dan lain sebagainya.
Abdul Ghoffar mengawali pertemuan dengan menerangkan latar belakang sejarah judicial review di dunia.. Bermula dari kasus Marbury vs Madison pada 1803 di Amerika Serikat. Meski ketentuan judicial review tidak tercantum dalam UUD AS saat itu, Supreme Court (Mahkamah Agung) AS membuat sebuah putusan yang ditulis salah satu Hakim Agung AS kala itu, John Marshall dan didukung empat hakim agung lainnya. Putusan tersebut menyatakan bahwa pengadilan berwenang membatalkan undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi.
Sejarah judicial review terus berkembang hingga 1920. Kala itu, seorang filsuf dan ahli hukum terkemuka dari Austria, Hans Kelsen yang terinspirasi dengan “Kasus Marbury vs Madison” menyatakan agar ketentuan konstitusi sebagai hukum tertinggi dapat dijamin pelaksanaannya, diperlukan organ yang menguji suatu produk hukum bertentangan atau tidak dengan konstitusi. “Gagasan Hans Kelsen itu kemudian menjadi dasar dibentuknya MK Austria yang menjadi MK pertama di dunia,” ucap Ghoffar.
Bertahun-tahun kemudian, pada awal 2000-an, Panitia Ad Hoc sempat menanyakan ketua MA saat itu tentang kesiapannya diberi kewenangan judicial review. Waktu itu Ketua MA menyatakan tidak siap. Alasannya, karena saat itu MA sudah menangani perkara yang begitu banyak.
Walhasil, setelah amandemen UUD 1945 yang ketiga, melalui Pasal 24 dan Pasal 24C Ayat (1) dan Ayat (2) UUD 1945, disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman tidak hanya dilakukan oleh MA saja tetapi juga dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) yang berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD. MK secara resmi lahir pada 13 Agustus 2003.
Usai memaparkan secara panjang lebar berbagai hal terkait MK, termasuk wewenang dan kewajiban MK, selanjutnya dilakukan acara tanya jawab. Bermacam pertanyaan terlontar dari para peserta. Salah satu pertanyaan yang tetap menjadi topik hangat, adalah mengenai “Putusan MK mengenai Anak di Luar Perkawinan”.
“Apakah agama melindungi anak di luar perkawinan? Apakah negara sampai detik ini melindungi anak di luar perkawinan?” jelas Goffar mempertanyakan.
Mengenai anak di luar perkawinan, Goffar menginformasikan prosentase jumlah angka kelahiran anak di luar perkawinan di beberapa negara. Di Malaysia misalnya, pada 2010 jumlahnya mencapai 14%. Sedangkan di Eropa, seperti Inggris, jumlahnya melonjak dari 12% pada 1980 menjadi 42% pada 2004. Selanjutnya di negara-negara Uni Eropa lainnya rata-rata sebesar 33% pada 2004. Kemudian di Amerika Serikat pada 2007 jumlahnya sekitar 40%.
Terkait putusan MK mengenai anak di luar perkawinan, Goffar menegaskan bahwa MK tidak melegalkan perzinaan. MK hanya berupaya memberikan perlindungan terhadap anak yang lahir di luar pernikahan sebagai sesama warga negara. Anak pada dasarnya tidak berdosa dan sebuah tindakan yang dilakukan oleh dua orang, baik ibu dan ayah biologisnya, harus dibebankan kepada kedua orangtuanya. Ayah biologis juga harus bertanggung jawab secara perdata terhadap anak yang lahirkan. (Nano Tresna Arfana/mh)