Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat Konsumen Telekomunikasi Indonesia (LSM-KTI), Denny A. K. mengajukan Pengujian UU No. 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025 terhadap UUD 1945. Namun karena permasalahan hukum dan permohonan perkara ini tidak jelas, Mahkamah menyatakan dalam amar putusannya, Permohonan Pemohon tidak dapat diterima. Demikian disampaikan dalam putusan Mahkamah Konstitusi No. 75/PUU-IX/2011, di Ruang Sidang Pleno MK, Selasa (17/4). Selain itu Mahkamah juga menyatakan permohonan Pemohom dalam provisi ditolak.
Pemohon dalam pokoknya menguji konstitusionalitas Lampiran UU 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Tahun 2005-2025, dalam Lampiran D tentang "Sarana dan Prasarana yang Memadai dan Maju" pada angka 31 halaman 55 dan halaman 56, khususnya pada frasa "penerapan konsep teknologi netral yang responsif terhadap kebutuhan pasar dan industri dengan tetap menjaga keutuhan sistem yang telah ada."
Sementara alasan Mahkamah menjatuhkan putusan tersebut karena beberapa pertimbangan, diantaranya di dalam petitum yang diajukan oleh Pemohon. Menurut Mahkamah didalam petitumnya tidak ada definisi frasa “penerapan konsep teknologi netral yang responsif terhadap kebutuhan pasar dan industri dengan tetap menjaga keutuhan sistem yang telah ada" dalam pasal-pasal UU 17/2007.
Dalil tersebut, menurut Mahkamah, perihal pemberian definisi pada frasa tersebut dalam UU 17/2007 merupakan kewenangan dari pembentuk Undang-Undang. “Mahkamah tidak berwenang untuk mengubah dan/atau memberikan definisi terhadap frasa dalam Lampiran UU 17/2007 sesuai dengan dalil Pemohon,” tulis Mahkamah.
Selain itu, Pemohon juga mendalilkan hak-hak konstitusional yang ditentukan dalam Pasal 18A ayat (2), Pasal 18B ayat (1) dan ayat (2), Pasal 33 ayat (1), ayat 2, dan ayat (3) UUD 1945 dirugikan. Tetapi menurut Mahkamah, Pemohon tidak menguraikan secara jelas mengenai hak konstitusional dimaksud dan kerugiannya dengan berlakunya Lampiran dalam UU 17/2007 yang dimohonkan, sehingga mengakibatkan permohonan Pemohon menjadi tidak jelas dan kabur.
“Kendatipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan Pemohon prima facie memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, namun karena permohonan Pemohon tidak jelas dan kabur maka permohonan Pemohon tidak memenuhi syarat pengajuan permohonan pengujian undang-undang,” tegas hakim konstitusi dalam pendapat Mahkamah.
Mengenai perbaikan permohonan Pemohon, menurut Mahkamah berdasarkan Pasal 39 ayat (2) UU MK menyatakan, “Dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Mahkamah Konstitusi wajib memberi nasihat kepada pemohon untuk melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari”. Perbaikan permohonan baru diterima 2 Desember 2011, sehingga telah melewati tenggang waktu. Oleh karena tersebut, Mahkamah hanya mendasarkan pertimbangan pada permohonan Pemohon 30 September 2011 yang diterima oleh Kepaniteraan Mahkamah pada 7 Oktober 2011. (Shohibul Umam/mh)