Perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) antara Presiden RepublikIndonesia(Pemerintah/Pemohon) dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR/Termohon I) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK/ Termohon II) terkait masalah proses pembelian saham divestasi PT Newmont Nusa Tenggara (PT NNT) terus bergulir hingga Senin (16/4). Perkara yang teregistrasi dengan nomor 2/SKLN-X/2012 kali ini beragendakan mendengarkan keterangan para ahli, salah satunya yakni keterangan dari Ahli BPK.
Hadi Purnomo, Ketua BPK mengawali sidang kali ini dengan menyampaikan bahwa APBN/APBD harus melalui DPR. BPK sendiri pernah mengeluarkan surat pendapat kepada presiden untuk mencabut PP 1 Tahun 2008 yang isinya memperluas kewenangannya, padahal itu adalah hak BPK. “Jadi kewenangan BPK ada dua yang penting, memeriksa pengelolaan dan pertanggung jawaban keuangan negara,” ujar Hadi.
Hadi kemudian membicarakan masalah konkrit terkait perkara yang sedang bergulir di MK saat ini. Pada 21 Juni 2011, DPR meminta BPK untuk mengaudit divestasi tujuh persen saham PT NTT yang dilakukan Pemerintah. Tugas mengaudit itu menurut Hadi memanglah kewenangan BPK hingga menjadi laporan. Laporan hasil audit BPK kemudian dilanjutkan dengan meminta tanggapan kepada Pemerintah (Menteri Keuangan). “Ternyata, tindak lanjut yang dilakukan oleh Pemerintah, diadukan ke MK tentang sengketa kewenangan lembaga negara. Dasar hukumnya, surat kuasa khusus presiden selaku kepala pemerintahan kepada Menkumham dan untuk mengajukan permohonan SKLN ke MK. Nah, inilah yang menjadi persoalan. Kalau hal ini terjadi kepada 1.000 auditi yang BPK audit, taruhlah 10 persen dari 100 WP, BPK nantinya tidak akan kerja. Apa ini yang dikehendaki oleh pemerintah?,” papar Hadi.
Di akhir keterangannya, Hadi menyampaikan kesimpulan bahwa dasar Menkeu membeli saham PT NNT, yaitu Pasal 41 Undang-Undang 1 Tahun 2004 perlu dipertanyakan karena di dalam pasal tersebut secara tegas menggunakan istilah Pemerintah bukan Menkeu, sebagaimana pasal-pasal lain dalam undang-undang tersebut. “Oleh karena itu, kami persilakan kepada Majelis Hakim Yang Mulia untuk menilai. Andaikata SKLN dimenangkan oleh Pemerintah atau dengan kata lain Pemerintah menjadi bisa berinvestasi ke perusahaan tertutup tanpa persetujuan DPR, maka Pemerintah dapat melakukan investasi perusahaan swasta terbuka itu di mana pun juga ada dan dalam kondisi normal,” tandas Hadi.
Pengaburan Konstitusional
Hadir memberikan keterangan di hadapan pleno hakim konstitusi yang dipimpin langsung oleh Ketua MK, Moh. Mahfud MD, yaitu Ahli dari BPK Revrisond Baswir. Memulai penjelasannya, Revrisond menggarisbawahi bahwa penjelasannya hanya difokuskan pada kriteria investasi yang disengketakan dalam perkara ini.
Revrisond menyampaikan bahwa Pemerintah dalam hal ini mengartikan investasi sebagai investasi jangka panjang nonpermanen, tetapi dengan menyanggah investasi jangka panjang nonpermanen itu sebagai penyertaan modal. Jika Pemerintah memahaminya seperti itu, lanjut Revrisond, maka otomatis investasi yang dimaksud Pemerintah masuk dalam kategori investasi surat berharga. Hal itu menurut Revrisond sudah menjadi konvensi internasional bahwa investasi hanya dikategorikan menjadi dua, yaitu investasi portofolio atau surat berharga dan investasi langsung.
Revrisond kemudian menyampaikan bahwa sesuai isi butir 47 dalam Sales and Purchase Agreement PIP (Pusat Investasi Pemerintah) terkait pembelian tujuh persen saham PT NNT, terlihat Pemerintah setengah memaksa PT NNT untuk menyerahkan salah satu komisarisnya untuk PIP.
“Jadi jelas sekali bahwa pembelian tujuh persen saham NNT tidak hanya penguasaan sahamnya, tetapi secara langsung dikaitkan dengan adanya hak untuk menunjuk seseorang mewakili PIP dengan jabatan dewan komisaris. Kalau sudah begitu kesimpulannya saya kira sederhana sekali, investasi ini adalah investasi langsung, tidak mungkin investasi surat berharga, tidak mungkin investasi portofolio,” jelas Revrisond.
Terakhir, Revrisond menegaskan bahwa sama sekali tidak tepat bila hasil pemeriksaan BPK dinyatakan oleh Pemerintah sebagai satu tindakan yang bersifat menghalangi penggunaan hak konstitusional Pemerintah. Sebaliknya, dengan mengungkapkan kronologis pengubahan PMK 181 Tahun 2008 melalui penerbitan PMK 44 Tahun 2011, hasil pemeriksaan BPK justru telah dengan sangat baik mengungkapkan terjadinya praktik pengaburan konstitusional oleh Pemerintah. Sebab itu Revrisond menegaskan bahwa tidak ada tindakan lain yang perlu dilakukan oleh Pemerintah kecuali membatalkan transaksi tersebut. (Yusti Nurul Agustin/mh)