Undang-Undang tentang Minyak dan Gas Bumi dianggap telah merendahkan martabat negara dan melecehkan kedaulatan rakyat sebagaimana diamanahkan oleh Konstitusi. Sebab, telah mengakibatkan negara memiliki posisi yang sama dengan perusahaan asing dalam kontrak pengelolaan migas diIndonesia. “Menguntungkan bagi investasi asing, namun merugikan rakyat,” tegas Saiful Bachri Kuasa Hukum Pemohon dalam perkara No. 36/PUU-X/2012, Selasa (17/4) di Ruang Sidang Pleno MK. Dia tergabung dalam Tim Hukum PP Muhammadiyah yang mewakili beberapa organisasi masyarakat dan perseorangan.
Bahayanya lagi, kata dia, apabila ada masalah dalam kontrak dengan pihak asing, dan Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) sebagai pemegang kuasa Pemerintah dalam urusan migas kalah, maka negara yang akan menanggung akibatnya. “Apabila kalah, maka seluruh rakyat akan menanggung kekalahan. Di situlah inti merendahkan martabat negara,” tegasnya. Karena, kontrak kerja sama yang terjadi tergolong dalam perjanjian internasional.
Keberadaan BP Migas sebagai pemegang kuasa Pemerintah dalam urusan migas, juga dipersoalkan oleh Pemohon. Menurut Pemohon, keberadaan BP Migas telah ‘membonsai’ Pasal 33 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar 1945. Pasal ini mengamanahkan, cabang-cabang produksi yang penting dan terkait hajat hidup rakyat dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Selain itu, menurut Pemohon, ketentuan dalam UU Migas juga telah menyalahi makna yang telah ditafsirkan oleh MK dalam putusannya No. 002/PUU-I/2003. Dan, tidak dipenuhinya rumusan dikuasai oleh negara dalam UUD 1945. “Hanya menjadi ilusi konstitusional,” tegas Saiful.
Dalam perkara ini, Pemohon menguji Pasal 1 angka 19 dan 23, Pasal 3 huruf b, Pasal 4 ayat (3), Pasal 6 ayat (1), Pasal 9 ayat (1), Pasal 10 ayat (1), Pasal 11 ayat (2), Pasal 13 ayat (1), serta Pasal 44 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Menurut Pemohon, ketentuan dalam UU Migas tersebut telah bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 11 ayat (2), Pasal 20A ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1), serta Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945.
“Menyatakan Undang-Undang Migas tidak memiliki kekuatan hukum secara mengikat secara keseluruhan karena norma-norma yang terkandung bertentangan dengan pembukaan UUD 1945 dan Pancasila terutama sila ke lima,” ujar Saiful saat membacakan salah satu petitum permohonannya. (Dodi/mh)