RMOL. Bukan hanya pasal 208 tentang ambang batas nasioanal yang dipersoalkan dalam UU Pemilu yang baru disahkan dalam sidang paripurna Kamis pekan lalu (12/4). Pasal 8 ayat 1 dan 2 UU Pemilu juga dinilai bermasalah.
Pasal 8 ayat 1 UU pemilu menyatakan bahwa Parpol peserta Pemilu pada Pemilu terakhir yang memenuhi ambang batas perolehan suara sah secara nasional ditetapkan sebagai peserta Pemilu berikutnya. Sedangkan ayat 2 berbunyi bahwa Parpol yang tidak memenuhi abang batas perolehan suara pada pemilu sebelumnya atau Parpol baru dapat menjadi peserta pemilu setelah memenuhi persyaratan.
"Pasal ini tidak saja diskriminatif, tapi juga mengingkari ketentuan pada pasal dan UU yang sama sebelum dirubah sekarang ini, yang menyatakan bahwa partai peserta pemilu sebelumnya sebagai peserta pemilu selanjutnya (tidak perlu daftar lagi)," kata Kordinator Nasional Badan Eksekutif Laskar Hijau, Tumpal Daniel, kepada Rakyat Merdeka Online beberapa saat lalu (selasa, 17/4).
Ketentuan pada pasal dan UU yang lama ini, ungkap Daniel, sudah diperkuat oleh keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) ketika mengabulkan judicial review empat parpol yang tidak memperoleh kursi hasil pemilu 2004 yang kemudian bisa menjadi peserta pemilu 2009. Dalam diktum penjelasan MK itu disebutkan bahwa penggunaan sistem parlementary threshold (PT) menjamin kepesertaan Parpol dalam pemilu selanjutnya meskipun beresiko hilangnya kursi di parlemen.
"Ini memang berbeda dengan rezim electoral threshold yang sebaliknya," jelas Daniel.
Karena itu, masih kata Daniel, perubahan pasal 8 ayat 1 dan 2 ini harus dibatalkan oleh MK kembali karena MK sudah memiliki yurisprudensi dalam hal ini. Di sisi lain, langkah DPR dan pemerintah yang meloloskan perubahan pasal ini juga merupakan bentuk kesengajaan dan dengan memunculkan ketentuan ini termasuk kejahatan politik. Sebab implikasi dari ketentuan ini akan menguras energi dan materi Parpol yang terkena pemenuhan syarat untuk menjaga kepastian hukum dalam kepesertaan. Hal ini juga membuka peluang perlakuan curang agar parpol di luar parlemen tidak fokus untuk berbuat dan bergerak di masyarakat dan melakukan sosialisasi pemenangan pemilu.
"Jadi kesengajaan DPR dalam membuat pasal ini mestinya mendorong masyarakat menyelidiki lebih jauh dalam bentuk penggugatan yang berbeda karena telah DPR dan pemerintah telah berlaku sewenang-wenang dalam mempergunakan kewenangan konstitusionalnya," demikian Danie.