[BATAM] Dewan Perwakilan Daerah (DPD)meminta pertimbangan atau fatwa ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait kewenangan yang dimiliki lembaga tersebut. Pasalnya, selama ini, DPD tidak dilibatkan dalam pembuatan UU bersama DPR.
Padahal, ada aturan dalam UU (Undang-Undang) 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) dan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (P3) yang menyebutkan DPD bisa terlibat dalam proses pembuatan UU.
"Kami ingin melihat dan mengetahui sejauh mana kewenangan kami dalam membuat UU. Menurut pandangan kami, ada kewenangan yang menyebutkan kami bisa terlibat dalam seluruh tahapan pembuatan UU, tetapi itu tidak pernah terjadi selama ini," kata Ketua DPD Irman Gusman saat melakukan kunjungan kerja ke Batam, Kepulauan Riau (Kepri), Selasa (17/4).
Turut mendampingi Irman, Sekjen DPD Siti Nurbaya bersama empat anggota DPD dari Kepri yaitu Aidah Zulaika Ismet, Zulbahri, Djasarmen Purba, dan Hardi Selamat Hood.
Irman menjelaskan aturan yang menyebutkan DPD bisa terlibat adalah tertuang dalam UU MD3 Pasal 102 ayat 1 huruf d, Pasal 147 dan Pasal 150 ayat 3 dan ayat 5.
Dalam aturan-aturan itu disebutkan DPD 'dapat' terlibat dalam proses penyusunan UU. Kata 'dapat' itu yang diminta pertimbangannya ke MK. Alasannya, DPR memilik pandangan lain dengan kata itu yaitu tidak memberi kesempatan kepada DPD mengikuti seluruh proses penyusunan UU.
DPD hanya dibolehkan memberi masukan atau draf kepada DPR. Selanjutnya hanya DPR dan pemerintah membahas sehingga menghasilkan sebuah UU. Padahal DPD mengharapkan ada pembahasan bertiga yaitu DPD, DPR, dan pemerintah.
"Kata 'dapat' itu yang mau kami tanyai ke MK. Soalnya kata itu mengandung multiinterprestasi. Ada yang menyebut 'dapat' itu tidak wajib, ada sebagian ahli perundang-undangan mengatakan wajib. Agar lebih fair, fatwa MK sangat diharapkan sekali," ujarnya.
Sementara dalam UU P3 dinyatakan proses pembuatan UU harus melibatkan DPD. Ketentuan-ketentuan itu tertuang dalam pasal 20 ayat 1, pasal 21 ayat 3, pasal 23 ayat 2, pasal 43 ayat 2, pasal 46 ayat 1, pasal 48, pasal 68 ayat 3 dan ayat 5.
"Ketentuan-ketentuan dalam dua UU itu yang kami minta pertimbangan MK. Kami inginkan pandangan yang final atas aturan-aturan itu terutama terkait kewenangan yang kami miliki," ujar Irman.
Ia menjelaskan selama ini DPD tidak melakukan gugatan karena mengedepankan pendekatan diplomasi dan hubungan kekeluargaan dengan DPR. Namun di sela-sela pendekatan tersebut, DPD juga telah mengirim surat ke pimpinan DPR untuk mempertanyakan 14 item yang dalam pandangan DPD tidak diperhatikan DPR. Padahal dalam 14 item itu, ada aturan yang harus dikerjakan bersama antara DPR dan DPD.
"Kita tidak inginkan konflik. Tapi selama ini kita melihat dari sejumlah item yang diatur dalam tata tertib, ternyata sampai saat ini hanya satu item yang terealisasi," tegas senator asal Sumatera Barat ini.
Anggota DPD Djasarmen Purba yang mendampingi Irman mengungkapkan DPD telah membentuk tim ligitasi yang terdiri dari 17 anggota. Tim itu diketuai oleh Irman Gusman. Tujuan pembentukan tim adalah untuk membahas sekaligus mengevaluasi substansi yang akan diajukan ke MK.
"Bulan Mei mendatang diharapkan gugatan itu sudah bisa dimasukkan ke MK," ujarnya.
Ia menjelaskan semangat di balik kelahiran DPD adalah mengoreksi sistem perwakilan satu kamar dengan memberi peran serta bagi daerah untuk terlibat dalam perumusan kebijakan nasional.
Sistem perwakilan unikameral itu dinilai tidak mampu untuk mengakomodasi keragaman kepentigan, karena perwakilan DPR semata-mata didasarkan pada perwakilan ideologi dan penduduk, sementara perwakilan wilayah terabaikan. Karena itu dibentuk lembaga DPD.
"Melalui keberadaan DPD, posisi daerah dalam struktur ketatanegaraan menjadi jelas. DPD menjadi jembatan kepentingan daerah dengan kebijakan nasional," ujarnya. [R-14]